Pandangan mata Mira disejukkan,
ketika memasuki ruang belajar kiki yang penuh dengan buku-buku di rak tersusun
rapi tanpa debu. Warna biru dan putih mendominasi menggores di dinding-dinding
yang bersih.
“Mira lihatlah, gimana bagus gak nih
?” tangannya membuka kotak kado berwarna biru dongker, diangkatnya baju gaun
dengan lengan panjang berwarna biru yang elegant. Dengan variasi bordiran bunga
di bagian lutut sampai mata kaki dan rample di pergelangan tangan
kiri-kanannya.
“Lumayan. Dari siapa itu kiki? Pasti
dari sahabat kebangganmu itu? Arya?” lelucon Mira menyudutkan. Kakinya masih
menjuntai disandaran kaki sofa di ruang belajar itu.
“Cuma dia yang mampu berjuang seperti
ini ra? Mengerti aku dan berjuang untuk kebahagiaanku.” senyumnya merona,
sesekali tangannya mengangkat baju gaun warna kesayangannya itu.
“Sahabat macam apa? Antara laki-laki dan perempuan tidak akan pernah ada persahabatan melainkan
pada akhirnya memunculkan cinta. Jangan
GR dulu Kiki, sudah berapa wanita yang diberikannya kado sepertimu?” ketus
Mira tanpa basa-basi. Mengingat ini adalah kesekian kali penerimaan hadiah yang
diterima Kiki dari Arya, sahabat tanpa statusnya itu.
“Apa buktimu sampai menjudge dia
seperti itu ra? Dia berbeda dengan yang lain. Dia menghargaiku, dia
mengistimewakanku dengan perbuatan ini, dengan hadiah-hadiah yang aku sukai.
Terus apa aku salah menerima perbuatannya?” wajah Kiki memerah.
“Aku takut kau jadi budak cinta, yang pada akhirnya terjebak pada dimensi
luka yang menganga!? Menjadi korban penyesalan
karena dusta. Hanya itu.” jawab Mira.
“Aku masih bisa logis membedakan mana
kebaikan dan mana keplasuan. Aku bisa jaga diri baik-baik kok” Keluar dari ruang
belajar di rumah mewahnya yang luas itu, dengan hentakan pintu yang memekakan
telinga, seperti bara api yang sedang membakar hatinya.
“tapi belum tentu dengan hatimu Ki.”
Jerit Mira, suaranya membesar mengejar ketertinggalannya di belakang kiki.
*
Sebagian mereka diluar
sana membenci untuk membahas cinta. Karena mereka adalah korban cinta manusia. Bagi
mereka cinta identik dengan rasa sakit dan kebencian. Menurut mereka hanya
cinta yang suci yang mendatangkan keindahan, kelembutan, dan keberkahan yaitu
cinta dalam sebuah pernikahan. Tapi diantaranya, ada pula yang bebas
mengartikan dengan ekspresi mereka sendiri, bahkan dengan kutipan-kuitpan dari
sastrawan puisi yang tersohor. Mendayu-dayu membawa angan kosong. Teori-teori cinta mereka kumpulkan agar paham
apa itu cinta. Mereka percaya bahwa cinta harusnya tidak sebatas teori tapi cinta
adalah perbuatan. Bahayanya mereka yang hanyut dalam perbuatan yang membawa
luka bagi diri dan orang lain. Disinilah hati akan diuji dengan luka, rasa sakit
dan kebencian. Tak patut memelihara kebencian. Itu terjadi karena ada jalan
cinta yang mereka salah artikan, pengharapan kepada manusia yang berujung pada
kekecewaan. Padahal ada Maha Cinta yang lebih suci, yang memiliki cinta begitu
luas, yang tidak pernah pergi, yang selalu dalam kebersamaan diri dan tak
pernah keliru.
Wanita mempunyai naluri
yang lembut dan pemaaf, itulah kodratnya. Tapi mungkin sebagian pernah menjadi
korban dari atas nama “cinta”, maka mereka yang terlihat cuek dan garang
kemudian sering disebut perempuan yang menyebalkan. Padahal mereka sedang
membangun benteng, mem-protect diri mereka. Meskipun mereka akan di pandang jauh
dari point sebagai perempuan yang diidamkan. Tapi menurut Mira, lebih baik membentengi diri dari pada mengikuti
semua yang laki-laki idam-idamkan. Penting
bagi wanita berpikir logis dan rasional. Agar dapat membedakan mana rayuan,
mana jebakan, mana candaan, dan mana dusta. Hidup bukan hanya soal cinta pada
duniawi. Tapi tentang penghambaan diri kepada-Nya saja. Bukan menjadi budak
cinta dengan fatamorgana.
Jika menurut para lelaki air mata wanita adalah hanya sebatas
pipi, itu karena
mereka tidak pernah merasakan bagaimana rasa sakitnya mencintai dalam
perjuangan seperti Ibu, yaitu melahirkan. Ada air mata, ada kekuatan dalam
bertahan, ada bahagia dalam rasa sakit setiap perjuangan seorang ibu. Dan itu
suci. Mereka keliru mengartikan air mata wanita. Karena mereka kodratnya
dominan dengan logika bukan dengan rasa. Memperlakukan wanita sama. Mereka
seolah lebih paham mengartikan cinta. Mereka bilang wujud cinta sebatas
teori itu belum teruji. Cinta tak
sekedar teori, melainkan ada perbuatan sebagai wujud konkritnya. Tapi kita perlu sadar, saat itu terlontar
dari mereka, maka wanita sedang di tarik dari alam bawah sadarnya untuk
mengikuti semua keinginannya. Tepatnya adalah rayuan dalam jebakan.
“Mir, kenapa kamu gak pacaran aja
sih? Jangan terlalu idealislah, nanti gak dapat gebetan!!”. Udah mau kuliah
juga kan? Pancing tania.
“Sorry tania, aku gak berniat untuk
cari gebetan. Apalagi pacar. Diusiaku yang menginjak 22 tahun, ada banyak hal
yang bisa aku lakukan. Menciptakan karya, melatih softskill, membenahi diri,
dan mencapaian strategi yang matang di masa depan. Bukankah memasuki masa depan
membutuhkan persiapan matang? Apalagi kita perempuan. So, aku tak mau
melewatkannya. Dan perihal cinta-cintaan, ah . . .sudahlah. Aku tak mau
menghabiskan waktu yang membuat ku rugi dan menyesal dikemudian hari. Biarlah
aku titipkan pada yang menciptakan perasaan ini saja.”
“hahaha...aku pikir jawaban kau akan
sama seperti para wanita lainnya, yang sedang mengidap penyakit budak cinta.
Tidak hina memang memiliki rasa cinta. Karena itu adalah anugerah-Nya kan Mira?
Tapi mengemas anugrah-Nya itu butuh ilmu. Agar kita tak keliru menyikapi rasa. Dengan
baca buku, diskusi, ikut kajian, tak cukup dengan logika dan rasional dalam
diri. Jika tidak, maka tergadaikanlah wanita oleh rasa sakit, depresi, trauma
bahkan bisa menjadi seperti “majnun”
seperti judul buku yang kemaren telah kau lahap Mira. . . . . . hahaha.”
Tawanya lepas, lega seperti mengikhlaskan masa lalu di belakang sebagai pelajaran.
“sudahlah Tania, ada yang lebih
penting yang akan aku ceritakan dari pada masalah cinta-cintaan mu itu.” sambil
mengeluarkan buku tebal dari dalam tas ransel rajutnya berwarna hitam. Dan
senyum lebarnya mengikat.
“ada apa dengan kisah Shalahuddin
Al-Ayubi? aku sudah membaca kisahnya Mira.”
“Tidak, kali ini yang akan aku
ceritakanmu berbeda. Inti tentang impian, visi, cita, dan cinta. Ini tentang
impian seorang ibu dan ayahnya di masa lalu. Dengarkan aku:
Kisah seorang
penguasa Tikrit yang belum menikah. Dia bernama Najmun. Dia belum mendapatkan
calon yang cocok dengannya. Dia kemudian dijodohkan oleh Asaduddin dengan para
putri Sultan dan Menteri agung zaman Abbasiyah. Tapi Najmun menolak, dia hanya menginginginkan istri yang salihah yang
biasa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia tarbiyah
dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria serta mampu
mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin. Saat itu Najmun tinggal di
daerah Tikrit, sementara Baitul Maqdis di jajah oleh Pasukan Salib. Najmunddin
percaya, barangsiapa ikhlas niat karena Allah, akan Allah karuniakan
pertolongan.”
Maka, pada suatu hari, Najmuddin duduk
bersama seorang Syaikh di mesjid Tikrit dan berbincang-bincang. Datanglah
seorang gadis memanggil Syeikh dibalik tirai dan Syeikh meminta izin Najmuddin
untuk bicara dengan si gadis. Ternyata gadis itu menolak pemuda yang punya
kedudukan dan ketampanan. Gadis itu berkata, “Aku ingin menikah dengan seorang
pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang
menjadi ksatria
yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum Muslimin.”
Najmudin
tersentak, mendengarkan apa yang dikatakan oleh gadis itu. Dia cocok untuku! Jawab Najmudin. Semua
ini terjadi kalau tak ada campur tangan Allah yang Maha Kuasa? Najmuddin
menolak putri Sultan dan Menteri yang punya kecantikan dan kedudukan. Begitu juga
gadis itu menolak pemuda yang punya kedudukan dan ketampanan.
Seketika itu Najmuddin berdiri memanggil
Syeik, “Aku ingin menikah dengan gadis ini. Aku tak peduli dia seorang gadis
kampung yang miskin. Aku ingin istri shalihah yang menggandeng tanganku ke
surga dan melahirkan anak yang dia didik jadi ksatria yang akan mengembalikan
Baitul Maqdis kepada kaum Muslimin.”
Kemudian Najmuddin dengan gadis itu pun
menikah. Tak lama kemudian, lahirlah putra Najmuddin yang menjadi ksatria yang
mengembalikan Baitul Maqdis ke haribaan kaum muslimin. Anak itu lahir di
benteng Tikrit, Irak. Anaknya bernama adalah Yusuf bin Najmuddin al-Ayyubi atau
lebih dikenal dengan nama Shalahuddin Al Ayyubi. Seorang pemimpin, ulama
dan penakluk Yarussalem. Dimana tepat pada 2 Oktober 1187 atau setelah tiga
bulan berjibaku dalam pertempuran Hattin, Baitul Maqdis akhirnya kembali jatuh
kepada pangkuan umat Islam melalui kepemimpinan pahlawan besar Islam
Shalahuddin al Ayyubi. Allahu Akbar!
“Masyaallah Miraaaaa. . .ternyata ada
visi yang luar biasa di balik mitsaqon gholidzo. Ketika mendidik 1 perempuan maka kita dapat menyelamatkan 1 generasi. Seperti
peran gadis itu.” Wajahnya penuh semangat, energinya meningkat seperti full
tercas.
“Dan aku pun ingin menjadi bagian
seperti gadis itu, memperbaiki peradaban ini. Memenuhi janji-Nya terhadap
kemenangan islam ini, Tania. Semoga. Betapa pentingnya peran perempuan terhadap
kelangsungan peradaban. Dia menegakkan, kokoh, menguatkan, maka dari itu
perempuan harus cerdas, punya visi, kemudian tunduk dan patuh kepada-Nya. Karena
perempuan yang akan menyelamatkan generasi ini untuk peradaban yang gemilang. Dan
kita...masih harus banyak belajar untuk memantaskan diri lagi Tania.” tersenyum
penuh harap dan hela nafas panjangnya membawa imajinasi.
***
Oleh: Fatimah