Sabtu, 25 Januari 2020

Cerpen: Perempuan Dan Peradaban



Pandangan mata Mira disejukkan, ketika memasuki ruang belajar kiki yang penuh dengan buku-buku di rak tersusun rapi tanpa debu. Warna biru dan putih mendominasi menggores di dinding-dinding yang bersih.

“Mira lihatlah, gimana bagus gak nih ?” tangannya membuka kotak kado berwarna biru dongker, diangkatnya baju gaun dengan lengan panjang berwarna biru yang elegant. Dengan variasi bordiran bunga di bagian lutut sampai mata kaki dan rample di pergelangan tangan kiri-kanannya.

“Lumayan. Dari siapa itu kiki? Pasti dari sahabat kebangganmu itu? Arya?” lelucon Mira menyudutkan. Kakinya masih menjuntai disandaran kaki sofa di ruang belajar itu.

“Cuma dia yang mampu berjuang seperti ini ra? Mengerti aku dan berjuang untuk kebahagiaanku.” senyumnya merona, sesekali tangannya mengangkat baju gaun warna kesayangannya itu.

“Sahabat macam apa? Antara laki-laki dan perempuan  tidak akan pernah ada persahabatan melainkan pada akhirnya memunculkan cinta. Jangan GR dulu Kiki, sudah berapa wanita yang diberikannya kado sepertimu?” ketus Mira tanpa basa-basi. Mengingat ini adalah kesekian kali penerimaan hadiah yang diterima Kiki dari Arya, sahabat tanpa statusnya itu.

“Apa buktimu sampai menjudge dia seperti itu ra? Dia berbeda dengan yang lain. Dia menghargaiku, dia mengistimewakanku dengan perbuatan ini, dengan hadiah-hadiah yang aku sukai. Terus apa aku salah menerima perbuatannya?” wajah Kiki memerah.

“Aku takut kau jadi budak cinta, yang pada akhirnya terjebak pada dimensi luka yang menganga!? Menjadi korban penyesalan karena  dusta. Hanya itu.” jawab Mira.

“Aku masih bisa logis membedakan mana kebaikan dan mana keplasuan. Aku bisa jaga diri baik-baik kok” Keluar dari ruang belajar di rumah mewahnya yang luas itu, dengan hentakan pintu yang memekakan telinga, seperti bara api yang sedang membakar hatinya.
“tapi belum tentu dengan hatimu Ki.” Jerit Mira, suaranya membesar mengejar ketertinggalannya di belakang kiki.
*
Sebagian mereka diluar sana membenci untuk membahas cinta. Karena mereka adalah korban cinta manusia. Bagi mereka cinta identik dengan rasa sakit dan kebencian. Menurut mereka hanya cinta yang suci yang mendatangkan keindahan, kelembutan, dan keberkahan yaitu cinta dalam sebuah pernikahan. Tapi diantaranya, ada pula yang bebas mengartikan dengan ekspresi mereka sendiri, bahkan dengan kutipan-kuitpan dari sastrawan puisi yang tersohor. Mendayu-dayu  membawa angan kosong.  Teori-teori cinta mereka kumpulkan agar paham apa itu cinta. Mereka percaya bahwa cinta harusnya tidak sebatas teori tapi cinta adalah perbuatan. Bahayanya mereka yang hanyut dalam perbuatan yang membawa luka bagi diri dan orang lain. Disinilah hati akan diuji dengan luka, rasa sakit dan kebencian. Tak patut memelihara kebencian. Itu terjadi karena ada jalan cinta yang mereka salah artikan, pengharapan kepada manusia yang berujung pada kekecewaan. Padahal ada Maha Cinta yang lebih suci, yang memiliki cinta begitu luas, yang tidak pernah pergi, yang selalu dalam kebersamaan diri dan tak pernah keliru.

Wanita mempunyai naluri yang lembut dan pemaaf, itulah kodratnya. Tapi mungkin sebagian pernah menjadi korban dari atas nama “cinta”, maka mereka yang terlihat cuek dan garang kemudian sering disebut perempuan yang menyebalkan. Padahal mereka sedang membangun benteng, mem-protect diri mereka. Meskipun mereka akan di pandang jauh dari point sebagai perempuan yang diidamkan. Tapi menurut Mira, lebih baik membentengi diri dari pada mengikuti semua yang laki-laki idam-idamkan. Penting bagi wanita berpikir logis dan rasional. Agar dapat membedakan mana rayuan, mana jebakan, mana candaan, dan mana dusta. Hidup bukan hanya soal cinta pada duniawi. Tapi tentang penghambaan diri kepada-Nya saja. Bukan menjadi budak cinta dengan fatamorgana. 

Jika menurut para lelaki air mata wanita adalah hanya sebatas pipi, itu karena mereka tidak pernah merasakan bagaimana rasa sakitnya mencintai dalam perjuangan seperti Ibu, yaitu melahirkan. Ada air mata, ada kekuatan dalam bertahan, ada bahagia dalam rasa sakit setiap perjuangan seorang ibu. Dan itu suci. Mereka keliru mengartikan air mata wanita. Karena mereka kodratnya dominan dengan logika bukan dengan rasa. Memperlakukan wanita sama. Mereka seolah lebih paham mengartikan cinta. Mereka bilang wujud cinta sebatas teori  itu belum teruji. Cinta tak sekedar teori, melainkan ada perbuatan sebagai wujud konkritnya. Tapi kita perlu sadar, saat itu terlontar dari mereka, maka wanita sedang di tarik dari alam bawah sadarnya untuk mengikuti semua keinginannya. Tepatnya adalah rayuan dalam jebakan. 

“Mir, kenapa kamu gak pacaran aja sih? Jangan terlalu idealislah, nanti gak dapat gebetan!!”. Udah mau kuliah juga kan? Pancing tania.

“Sorry tania, aku gak berniat untuk cari gebetan. Apalagi pacar. Diusiaku yang menginjak 22 tahun, ada banyak hal yang bisa aku lakukan. Menciptakan karya, melatih softskill, membenahi diri, dan mencapaian strategi yang matang di masa depan. Bukankah memasuki masa depan membutuhkan persiapan matang? Apalagi kita perempuan. So, aku tak mau melewatkannya. Dan perihal cinta-cintaan, ah . . .sudahlah. Aku tak mau menghabiskan waktu yang membuat ku rugi dan menyesal dikemudian hari. Biarlah aku titipkan pada yang menciptakan perasaan ini saja.”

“hahaha...aku pikir jawaban kau akan sama seperti para wanita lainnya, yang sedang mengidap penyakit budak cinta. Tidak hina memang memiliki rasa cinta. Karena itu adalah anugerah-Nya kan Mira? Tapi mengemas anugrah-Nya itu butuh ilmu. Agar kita tak keliru menyikapi rasa. Dengan baca buku, diskusi, ikut kajian, tak cukup dengan logika dan rasional dalam diri. Jika tidak, maka tergadaikanlah wanita oleh rasa sakit, depresi, trauma bahkan  bisa menjadi seperti “majnun” seperti judul buku yang kemaren telah kau lahap Mira. . . . . . hahaha.” Tawanya lepas, lega seperti  mengikhlaskan masa lalu  di belakang sebagai pelajaran.

“sudahlah Tania, ada yang lebih penting yang akan aku ceritakan dari pada masalah cinta-cintaan mu itu.” sambil mengeluarkan buku tebal dari dalam tas ransel rajutnya berwarna hitam. Dan senyum lebarnya mengikat.

“ada apa dengan kisah Shalahuddin Al-Ayubi? aku sudah membaca kisahnya Mira.”

“Tidak, kali ini yang akan aku ceritakanmu berbeda. Inti tentang impian, visi, cita, dan cinta. Ini tentang impian seorang ibu dan ayahnya di masa lalu. Dengarkan aku:
Kisah seorang penguasa Tikrit yang belum menikah. Dia bernama Najmun. Dia belum mendapatkan calon yang cocok dengannya. Dia kemudian dijodohkan oleh Asaduddin dengan para putri Sultan dan Menteri agung zaman Abbasiyah. Tapi Najmun menolak, dia hanya menginginginkan istri yang salihah yang biasa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia tarbiyah dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria serta mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin. Saat itu Najmun tinggal di daerah Tikrit, sementara Baitul Maqdis di jajah oleh Pasukan Salib. Najmunddin percaya, barangsiapa ikhlas niat karena Allah, akan Allah karuniakan pertolongan.”
Maka, pada suatu hari, Najmuddin duduk bersama seorang Syaikh di mesjid Tikrit dan berbincang-bincang. Datanglah seorang gadis memanggil Syeikh dibalik tirai dan Syeikh meminta izin Najmuddin untuk bicara dengan si gadis. Ternyata gadis itu menolak pemuda yang punya kedudukan dan ketampanan. Gadis itu berkata, “Aku ingin menikah dengan seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum Muslimin.”
            Najmudin tersentak, mendengarkan apa yang dikatakan oleh gadis itu. Dia cocok untuku! Jawab Najmudin. Semua ini terjadi kalau tak ada campur tangan Allah yang Maha Kuasa? Najmuddin menolak putri Sultan dan Menteri yang punya kecantikan dan kedudukan. Begitu juga gadis itu menolak pemuda yang punya kedudukan dan ketampanan.
Seketika itu Najmuddin berdiri memanggil Syeik, “Aku ingin menikah dengan gadis ini. Aku tak peduli dia seorang gadis kampung yang miskin. Aku ingin istri shalihah yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia didik jadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum Muslimin.”
Kemudian Najmuddin dengan gadis itu pun menikah. Tak lama kemudian, lahirlah putra Najmuddin yang menjadi ksatria yang mengembalikan Baitul Maqdis ke haribaan kaum muslimin. Anak itu lahir di benteng Tikrit, Irak. Anaknya bernama adalah Yusuf bin Najmuddin al-Ayyubi atau lebih dikenal dengan nama Shalahuddin Al Ayyubi. Seorang pemimpin, ulama dan penakluk Yarussalem. Dimana tepat pada 2 Oktober 1187 atau setelah tiga bulan berjibaku dalam pertempuran Hattin, Baitul Maqdis akhirnya kembali jatuh kepada pangkuan umat Islam melalui kepemimpinan pahlawan besar Islam Shalahuddin al Ayyubi. Allahu Akbar!


“Masyaallah Miraaaaa. . .ternyata ada visi yang luar biasa di balik mitsaqon gholidzo. Ketika mendidik 1 perempuan  maka kita dapat menyelamatkan 1 generasi. Seperti peran gadis itu.” Wajahnya penuh semangat, energinya meningkat seperti full tercas.
“Dan aku pun ingin menjadi bagian seperti gadis itu, memperbaiki peradaban ini. Memenuhi janji-Nya terhadap kemenangan islam ini, Tania. Semoga. Betapa pentingnya peran perempuan terhadap kelangsungan peradaban. Dia menegakkan, kokoh, menguatkan, maka dari itu perempuan harus cerdas, punya visi, kemudian tunduk dan patuh kepada-Nya. Karena perempuan yang akan menyelamatkan generasi ini untuk peradaban yang gemilang. Dan kita...masih harus banyak belajar untuk memantaskan diri lagi Tania.” tersenyum penuh harap dan hela nafas panjangnya membawa imajinasi.
***
Oleh: Fatimah

Senin, 13 Januari 2020

Cerpen :Dia yang menjadi alasan


Saat itu masih berbinar-binar mata Aira, keharuan dengan hasil terbaik yang Allah limpahkan atas usahanya setiap malam. Tugas kuliah yang menghabiskan waktu  di tengah malamnya, ia berkutat dengan buku dan laptop, dan malah lebih sering lagi duduk di lingkaran diskusi siang itu. Diskusi yang melahirkan banyak wacana dari dalam pemikiran dirinya dan teman-teman sejawatnya. Yang siap direalisasikannya segera. Melirik kawasan kampus yang berisikan orang-orang intelektual, gaya bicaranya kritis, pemikirannya bebas, budi pekertinya terdepan. Tapi dipinggirannya ternyata ada rumah-rumah yang sekedar cukup untuk makan dan melanjutkan hidup. Dari sinilah wacana Aira bersama  teman-temannya di mulai. 
“Yaya, besok sore kita rapat di pendopo FISIP ya. Jam 15.30 ba’da ashar. Tolong kamu kabarin yang lain ya.”
“Sore banget Aira? Nanti yang rumahnya jauh gimana pulangnya?  Kesorean kan!?.” Alisnya mengerut sambil mengangkat tangannya ke dagunya yang runcing.
“Aku udah estimasi waktu yak, inshAllah jam 5 sudah kita tutup rapatnya.” Tuturnya sambil melihat jam berwarna hitam dengan style casual di tangan kanannya.
“Aku sih nyantai aja Ra, rumah ku dekat sini. Tapi coba kamu pikirin juga lah Ra yang gak ada kendaraan, jam segitu bus ke kota sudah gak lewat lagi kan.”
“Yak, kalo kita rapatnya di jam siang temen-temen pada ada jam kuliah yayaaaaak...! kalo aku maunya, lebih cepat lebih bagus. Tumben kamu sepeduli ini sama teman-teman buat jadwal rapat?”
“Semenjak banyak kecelakaan memakan korban yang meninggal di persimpangan antar kota dan arah ke kampus kita, kadang aku parno sendiri Aira.” Mata yaya memerah, sebentar lagi bulir kristal kecil itu turun dari matanya.
“Yak, tetap lantunkanlah doa dimana pun teman-teman berada. Bukankah ikatan karena keimanan ini begitu kuat jika di ikat dengan doa? Dan takdir setiap kita sudah Allah tentukan Yaya. Rezki, kematian dan jodoh itu semua telah ditentukan-Nya. Dan ketika kita melakukan segala aktivitas yang baik dan dilandasi niat karena Allah, kemudian diperjalanan kita meninggal. InshaAllah Allah ridho. Semoga husnul khotimah.” Aira menggandeng tangan Yaya ke arah kursi taman.
“Aku cuma realistis aja Aira terhadap apa yang aku lihat.” Lugas Yaya dengan langkah kecil menyeruput pinggir rumputan yang segar setelah hujan hari itu.
“kamu khawatir sama Aisyah ?” wajahnya menghadap Yaya penuh tanda tanya.
“Aku sudah pernah ke rumahnya, lumayan jauh dari sini. Bukan hanya itu Aira, kadang dia pulang dari fakultas jalan kaki ke depan kampus karena kesorean ikut rapat. Sementara bus kampus sudah gak ada lagi ke kota  jam segitu. Dia emang gak pernah ngeluh, semua tugas kuliahnya terbaik, mahasiswa terbaik, di organisasi pun menunaikan amanah dengan baik. Aku pikir, aku tidak berlebihan memikirkan ini untuknya. Ku pikir ini bagian ukhuwah. Dimana kita bisa saling menanggung saudara. Dan kamu belum tahu kan Aira bagaimana peliknya dia menyelesaikan masalah ekonominya. Dia yakin bahwa Allah yang akan menyelesaikannya dengan cara-Nya.” Panjang Yaya dengan sorotan matanya bertemu dengan Aira.
“Aku baru tau tentang ini. Baik Yak, mulai hari ini apa-apa yang menyangkut Aisyah tolong kamu kabari aku. Kita saling menanggungnya. Kamu siap juga kan Yaya?” tegas Aira.
“Serius Aira?” matanya membesar dengan mulut yang terbuka
 “ InshaAllah selagi aku mampu. Jika aku mampu dengan kepalaku, aku berikan pikiranku. Jika aku mampu dengan kedudukanku aku bantu dengan kedudukanku. Jika aku mampu dengan hartaku, aku berikan apa yang aku punya.” Tegas Aira.
“Eleuh...kedudukan? emang kamu sopo toh mbak Aira? Presiden bukan,  wong berpangkat bukan.” Celetuk Yaya.
“hehe setidaknya aku adalah mahasiswa. Yang berpikir dan bertindak merdeka. Yak, besok temani aku silahturahim ke rumah Aisyah ya.” Pinta Aira
“Siap.” Tersenyum lega jempolnya terangkat tepat di depan wajahnya.
**
Sore hari itu rapat telah usai, semua program telah disepakati dan siap dijalankan. Aira datang menghampiri Aisyah yang sedari tadi sudah berjalan menyelusuri konblok tak berpasir itu. Aira membunyikan klaksonnya kemudian berhenti tepat di samping Aisyah. Tawaran Aira pun diterima dan Aisyah dengan simpul senyum tenang duduk di belakang Aira.
Sudah tiga puluh menit berlalu di perjalanan, banyak hal yang Aira dapat tentang Aisyah. Dan tersadar adzan magrib berkumandang. Aira mengarahkan sentnya ke kiri memasuki Masjid dan mengambil area parkir roda dua. 
“kamu bawa minum Aisyah?” tanya Aira
“Gak Aira” jawabnya tenang.
“Ini air minum aku masih banyak, cukuplah ya buat kamu buka puasa. Nanti setelah sholat kita mampir beli cemilan di depan.” Sambil memegang botol ukuran dua liter air.
“Makasih ra, aku makan cemilannya di rumah saja” balasnya dengan senyum, tangannya menyambut botol besar berwarna hijau seperti anak galon itu.  duduk sejenak berdoa dan membatalkan puasanya. Kemudian mereka melangkah memasuki batas suci.
Di dalam masjid satu shaff panjang telah bergerak mengagungkan Allah SWT. Mereka mengikuti shaff dengan rapat. Seusai salam, tampak kiri kanan saling menjulurkan tangan satu sama lain. Sambil mengucapkan Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh dengan simpul senyum dan jabat tangan yang erat. Begitulah masjid, menghadirkan ketenangan dan kenyamanan. Di sudut kanan masjid telah berjajar mereka yang  sedanga sibuk dengan mushaf, lembar iqro’ dan lehar kecil, sarung yang cingkrang, peci miring dan mukena besar menyeret lantai. Merekalah peradaban gemilang. Aira menatap mereka lama, mungkin intuisinya sedang melalang bersama imajinasi. Kemudian ustadzah mereka menepuk pundak Aira.
“Mbak, itu jam nya ketinggalan ?” tangannya memberikan jam berwarna hitam dengan style casual kepada Aira.
“makasih bu.” Senyum Aira sambil malu-malu.
“kami permisi bu.” Tambah Aisyah undur diri dengan asatidzah masjid itu.
Mereka melanjutkan perjalanan kembali. Senja dan jingga tak nampak lagi, tinggal semilir angin bersama debu malam merayap jalanan. Sesekali Aisyah melihat handphone. Khawatir ibunya menelpon seperti biasanya. Tapi tak ada panggilan masuk di layar kaca handpohone kecilnya yang selebar genggamannya itu. Kemudian motor berwarna biru milik Aira kembali minggir dijalanan trotoar. Aira bergegas masuk ke minimarket kecil kiri jalan mencarikan pengganjal lambung untuk Aisyah. Sementara Aisyah memilih menunggu duduk di atas motor biru itu dengan hening, antara lamunan atau zikir yang dia lakukan. Jelas masih sunyi.
“Aku pilih roti isi coklat, dan susu dingin coklat. Persis kesukaanmu kan?” Aira membawa kresek kecil putih untuk Aisyah.
“hehehe, makasih Aira aku jadi merepotkan. Berapa semuanya?” tanya Aisyah sambil membuka dompetnya berwarna hitam.
“Gak apa-apa, simpan buat keperluanmu yang lain.” Aisyah tersenyum sambil menghidupkan motor kesayangannya itu kemudian melaju.

"Terima kasih Aira" lugas Aisyah tangannya menerima kresek putih itu. 
Ada beberapa pertanyaan dibenak Aira tentang Aisyah yang ingin dia sampaikan. Tapi Aisyah masih sibuk dengan susu coklat kesukaannya di belakang Aira. Sesekali dia gigit potongan kecil di tangannya yang berisikan coklat itu. 
“Aira...” panggil Aisyah dengan lembut dari belakang.
“iyaa ...?”
“kenapa diam?” tanya Aisyah sambil menatap ke spion melihat wajah Aira.
“gak apa-apa Syah.” Wajah mereka saling tatap di spion kiri milik Aira.
“Syah, kalo ada yang bersedia untuk menikah denganmu di semester ini gimana?” tanya Aira sayup-sayup.
“uhuk..uhuk...uhuk” Aisyah tersedak. Motor Aira kembali berhenti kepinggir jalan sebelah kiri.
“kamu kenapa? Terkejutkah?” Aira sambil tertawa 
“Aku ya ra?”
“Iya ikhwannya mau menikah sama kamu. Gimana? siap?”. Todong Aira dengan wajah mereka saling menatap lagi.

“Gak ra. Aku belum siap.” ekspresinya datar
“hehehe...jangan dipikirin ah...Aku cuma nanya gak maksa kok. Karena ada mbak Ratna kemarin nanya. Aisyah udah siap nikah atau belum.” Aisyah sambil melanjutkan perjalanan lagi.
“hehehe....aku masih ingin fokus cari ilmu dulu untuk mempersiapkan semuanya itu Aira” jelas Aisyah.
“Dengan kamu menikah kamu bisa lebih tenang menjalani dakwahmu, menyelesaikan semua beban bersama, dan menjadikan kita kaya. Kaya keberkahan bukan? Karena menikah itu membahagiakan, menenangkan, mententramkan. Setiap perjalanannya adalah ibadah.” Sanggah Aira sambil senyum-senyum.
“Menikah itu untuk seumur hidup Aira. Menikah tidak hanya tentang bahagia. Menikah itu siap menderita, siap berjuang, siap menghadapi semua masalah bersama, siap memahami, siap mengalah, siap untuk saling menerima. Jadi butuh persiapan diri yang sangat matang. Dan apa yang menjadi bebanku saat ini, aku selalu berdoa kepada Allah. Biar lah Dia yang menyelesaikannya. Bukankah kita hidup dan bergerak di sini  hanya untuk Allah, cukuplah Dia yang menjadi alasan atas segala-galanya. Apakah kamu sudah siap Aira?” jawab Aisyah.
“loh..kok aku? aku masih riweuh ini syah. Masih belum sabar, masih acak-acakan, masih egois, belum cukup ilmu. Dan jauh banget lah untuk jadi istri idaman. Kalo kamu itukan, sabar, pinter, cerdas, mandiri, pandai berdikari, bisa jahit, bisa masak, bisa menyulam. Idaman banget. Tunggu apa lagi Aisyah....” Panjang Aira.
“Aku udah janji sama ibu dan ayah syah, aku mau selesaikan skripsi aku dulu. Mereka memang gak pernah melarang aku menikah muda. Tapi bagiku ada kewajiban yang harus aku tunaikan setelah jerih payah mereka berharap aku bisa sekolah setinggi-tingginya.” Jelas Aisyah.
“Terus, jika suatu hari nanti setelah menikah, kamu gak mau lanjut lagi syah?” tanya Aira sambil memasuki gang rumah Aisyah.
“Sebenarnya belajar itu sepanjang hayat kan Aira? Keinginan untuk menuntut ilmu itu akan selalu ada. Biarlah rahasia yang menjawab apa, kapan dan bagaimana.”jawab Aisyah dengan lembut dan santai kemudian turun dari motor kesayangan Aira.
“Baiklah Aisyah...hari ahad kita jadi masak-masak kan?.” Tanya Aira. Aira menjulurkan tangan  dan berjabat dengan Aisyah.
“oke. Aku tunggu di rumah ya. Kamu  yang ingetin akhwat seangkatan ya. Dan jangan lupa bawain buku aku yang kamu pinjam waktu lalu. Keakhwatan satu sampe ke empat. Soalnya pengunjung perpus miniku di rumah ada yang mau pinjam.” Pinta Aisyah.
“Siap...Aisyah. aku pamit pulang. Asalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh” jempolnya terangkat ke atas kepalanya dan melambaikan tangan”
***
Oleh: Fatimah

Jumat, 03 Januari 2020

Cerpen :Panggilan-Nya


“Mbak Aira, kemaren kan mbak bahas impian. nah gimana liburan semester ini kita belajar ke solo yok? itu salah satu impian Eri juga sejak lama” senyumnya merona

“Pare maksut kamu Ri?”

“Iya dong. . .” tangannya menjulurkan segelas greentea dingin kepada Aira.

“Makasih greentea-nya Ri, hehe. Always ngerti  ya kamu.” 

“Iyalah mbak....Seorang mbak Aira kalo sudah di depan laptop bersemedi di kamar, so pasti ada hal serius yang akan dia selesaikan. Hohoho” Sambil angkat alis senyum merekah.

“oh iya tentang Pare...Itu ide bagus. Dekat juga dengan Jogja. Kita bisa wisata qolbu di sana. Hehe...Mbak fokus dulu malam ini ya, nanti mbak pikirkan lagi segala yang akan kita persiapkan.” Menjinjing gelas berembun berisikan greentea ke dalam kamarnya.

“Eri tagih janji mbak ya. jangan lupa tahajud malam ini mbak. hehe” berlalu sambil kegirangan.

**

Aku ingat tapak tilas perjalanan siang itu. Di lapangan kampus rumputnya yang hijau, di bawah jejeran rindangnya ciptaan Allah yang membuat kami nyaman. Dita masih sibuk dengan laptopnya, Yuyun dengan konsumsi acara pagi ini, Ali dengan susunan acara perkenalan kampus bulan depan, Yaya dengan anggaran dana tahunan untuk program kerja tahun ini. Tapi pak ketua, Arkan namanya. Dia masih sibuk menelpon para undangan delegasi acara pelatihan pekan depan.

“Ta, masih revisi proposal acara pekan depan ya.?” Tanya Aira

“Masih mbak, siang ini Dita ke ruang bagian keuangan. Mbak bisa temenin Dita?” jawabnya kelu.

“boleh ta, mbak juga ajak mbak yaya boleh ya?.” Aira menawarkan opsi.

“boleh banget  mbak. Oh iya mbak malam ini Dita gak nginap di kos mbak lagi ya. Dita pulang aja ke cengkareng.” Jelasnya sambil menutup laptop dengan membereskan berkas di hadapannya.

“yakin kamu ta? Sore nanti kan ada rapat se-Provinsi untuk aksi peduli lusa nanti, nah pasti kamu kesorean  pulangnya?. Perjalanan dari sini hampir 2 jam kan ke cengkareng?.” 

“gak apa-apa mbak. Inshaallah Dita kuat kok.” Menatap Aira berharap kepercayaanya dengan sahabatnya ini.

“ya udah kali ini it’s ok. Besok-besok gak lagi ya dita.” Aira menarik tangan dita berdiri dari peraduannya.

“siap mbak”. Sambil tersenyum menggemgam erat menyambut tangan senior kampusnya itu.
“Mbak aira, ini udah adzan kan?” tanya Ali

“iya, ini udah masuk adzan. Jam sudah menunjukkan 12.15. “ jawab Aira

“Yak, yun kita ke masjid dulu  aja yuk. Habis sholat kita mampir ke nasi jamur crispy  depan gmana?” jawab Aira sambil menuju kendaraanya di parkiran  Gedung Birokrasi.

“oke kami semua ke masjid dulu ya. Nanti mas arkan ngajakin rapat tim inti acara pelatihan bulan depan. Pkl.14.30 di pendopo utama mbak. Bisa kan ?” Ali  berjalan menuju trotoar jalan sambil melambaikan tangan.

“boleh. . .boleh Aira.” kompak yuyun dan yaya.

“jangan lupa tolong Ali yang kabarin lainnya ya.” teriak Aira kepada Ali yang melaju telah jauh, kemudian dia memakai helm kesayanganya yang berwarna biru.

“Ali mengacungkan jempolnya dari atas motor yang melaju kencang”.

Dimana kala itu semua di sibukkan dengan kegiatan masing-masing, tapi mendahulukan panggilan Allah SWT dari pada yang lain adalah sebuah keharusan.

***


Oleh: Fatimah

Rabu, 01 Januari 2020

Cerpen : Akhir Desember

     Penghujung bulan bergegas pergi, berlari meninggalkan manusia penuh kisah. Aku lihat daftar list impian banyak yang tercoret karena terlaksana atas kehendak-Nya. Syukurlah. Tapi ada beberapa bagian nomor yang masih tampak bersih dari coretan. Tak apa, masih ada waktu besok jika di izinkan-Nya.

"Mbak, dah berapa tahun impian di nomor itu gak kelar-kelar?"

"Hahaha...Sudah ratusan purnama." (Ketawa sambil ngelus dada.)

"Sampe kapan sabarnya toh mbak?"

"Ehmm . . .sampai Dia berkehendak."sambil menghela nafas.

"Hahaha latihan sabar di luar itu makanya mbak, jadi gak perlu lagi menunggu dalam sabar." Ketusnya.

     Tengah larut malam datang, kristal kecil sering kali mampir keribaan. Memecah luapan yang bergemuruh dalam sunyi. Sejatinya mempesona jiwa yang hanyut dalam lara. Ada harapan di atas anugrah-Nya. Karena itulah kristal kecil menjadi teman yang ingin berlama-lama dalam cengkrama jiwa pada semesta.

      Kristal kecil sebagai bahasa kehidupan, mengurai peluh tercerai. Membawa kelegaan dalam tarikan nafas setelahnya. Menghimpun asa di masa depan. Temanilah lagi dia yang tertunduk di bawah luasnya langit. Mana kala seiring waktu fajar datang kemudian meniada, hilang dan menjadi kala. Tetap lah setia meskipun nanti telah berganti bahagia yang menyergap erat. Kristal kecil akan datang, dengan kehangatan. Aku yakin dia adalah kiriman Allah.

Tok...tok...
"Mbak, aku ambil cas hp ya." Izinnya dengan sigap.
"Monggo". Lirih ku.

"Belum tidur mbak?" Tanyanya heran

"Bentar lagi, masih ada yang mau di beresin."

"Waktu menunjukan jam 23.15 wib, besok pergi sekolah kan mbak?, besok aku antar ya."

"Baiklah...."

"Mbak, td habis revisi ulang daftar impian ya? Kenapa impian harus di catat sih mbak?

"Hehehe...supaya kita sadar ada banyak hal yang harus kita lakukan, kita usahakan, dan kita doakan. Karena waktu terus berjalan. Semoga kita bisa mengejar segala ketertiggalan."
***

Oleh: Fatimah