Sabtu, 25 Januari 2020

Cerpen: Perempuan Dan Peradaban



Pandangan mata Mira disejukkan, ketika memasuki ruang belajar kiki yang penuh dengan buku-buku di rak tersusun rapi tanpa debu. Warna biru dan putih mendominasi menggores di dinding-dinding yang bersih.

“Mira lihatlah, gimana bagus gak nih ?” tangannya membuka kotak kado berwarna biru dongker, diangkatnya baju gaun dengan lengan panjang berwarna biru yang elegant. Dengan variasi bordiran bunga di bagian lutut sampai mata kaki dan rample di pergelangan tangan kiri-kanannya.

“Lumayan. Dari siapa itu kiki? Pasti dari sahabat kebangganmu itu? Arya?” lelucon Mira menyudutkan. Kakinya masih menjuntai disandaran kaki sofa di ruang belajar itu.

“Cuma dia yang mampu berjuang seperti ini ra? Mengerti aku dan berjuang untuk kebahagiaanku.” senyumnya merona, sesekali tangannya mengangkat baju gaun warna kesayangannya itu.

“Sahabat macam apa? Antara laki-laki dan perempuan  tidak akan pernah ada persahabatan melainkan pada akhirnya memunculkan cinta. Jangan GR dulu Kiki, sudah berapa wanita yang diberikannya kado sepertimu?” ketus Mira tanpa basa-basi. Mengingat ini adalah kesekian kali penerimaan hadiah yang diterima Kiki dari Arya, sahabat tanpa statusnya itu.

“Apa buktimu sampai menjudge dia seperti itu ra? Dia berbeda dengan yang lain. Dia menghargaiku, dia mengistimewakanku dengan perbuatan ini, dengan hadiah-hadiah yang aku sukai. Terus apa aku salah menerima perbuatannya?” wajah Kiki memerah.

“Aku takut kau jadi budak cinta, yang pada akhirnya terjebak pada dimensi luka yang menganga!? Menjadi korban penyesalan karena  dusta. Hanya itu.” jawab Mira.

“Aku masih bisa logis membedakan mana kebaikan dan mana keplasuan. Aku bisa jaga diri baik-baik kok” Keluar dari ruang belajar di rumah mewahnya yang luas itu, dengan hentakan pintu yang memekakan telinga, seperti bara api yang sedang membakar hatinya.
“tapi belum tentu dengan hatimu Ki.” Jerit Mira, suaranya membesar mengejar ketertinggalannya di belakang kiki.
*
Sebagian mereka diluar sana membenci untuk membahas cinta. Karena mereka adalah korban cinta manusia. Bagi mereka cinta identik dengan rasa sakit dan kebencian. Menurut mereka hanya cinta yang suci yang mendatangkan keindahan, kelembutan, dan keberkahan yaitu cinta dalam sebuah pernikahan. Tapi diantaranya, ada pula yang bebas mengartikan dengan ekspresi mereka sendiri, bahkan dengan kutipan-kuitpan dari sastrawan puisi yang tersohor. Mendayu-dayu  membawa angan kosong.  Teori-teori cinta mereka kumpulkan agar paham apa itu cinta. Mereka percaya bahwa cinta harusnya tidak sebatas teori tapi cinta adalah perbuatan. Bahayanya mereka yang hanyut dalam perbuatan yang membawa luka bagi diri dan orang lain. Disinilah hati akan diuji dengan luka, rasa sakit dan kebencian. Tak patut memelihara kebencian. Itu terjadi karena ada jalan cinta yang mereka salah artikan, pengharapan kepada manusia yang berujung pada kekecewaan. Padahal ada Maha Cinta yang lebih suci, yang memiliki cinta begitu luas, yang tidak pernah pergi, yang selalu dalam kebersamaan diri dan tak pernah keliru.

Wanita mempunyai naluri yang lembut dan pemaaf, itulah kodratnya. Tapi mungkin sebagian pernah menjadi korban dari atas nama “cinta”, maka mereka yang terlihat cuek dan garang kemudian sering disebut perempuan yang menyebalkan. Padahal mereka sedang membangun benteng, mem-protect diri mereka. Meskipun mereka akan di pandang jauh dari point sebagai perempuan yang diidamkan. Tapi menurut Mira, lebih baik membentengi diri dari pada mengikuti semua yang laki-laki idam-idamkan. Penting bagi wanita berpikir logis dan rasional. Agar dapat membedakan mana rayuan, mana jebakan, mana candaan, dan mana dusta. Hidup bukan hanya soal cinta pada duniawi. Tapi tentang penghambaan diri kepada-Nya saja. Bukan menjadi budak cinta dengan fatamorgana. 

Jika menurut para lelaki air mata wanita adalah hanya sebatas pipi, itu karena mereka tidak pernah merasakan bagaimana rasa sakitnya mencintai dalam perjuangan seperti Ibu, yaitu melahirkan. Ada air mata, ada kekuatan dalam bertahan, ada bahagia dalam rasa sakit setiap perjuangan seorang ibu. Dan itu suci. Mereka keliru mengartikan air mata wanita. Karena mereka kodratnya dominan dengan logika bukan dengan rasa. Memperlakukan wanita sama. Mereka seolah lebih paham mengartikan cinta. Mereka bilang wujud cinta sebatas teori  itu belum teruji. Cinta tak sekedar teori, melainkan ada perbuatan sebagai wujud konkritnya. Tapi kita perlu sadar, saat itu terlontar dari mereka, maka wanita sedang di tarik dari alam bawah sadarnya untuk mengikuti semua keinginannya. Tepatnya adalah rayuan dalam jebakan. 

“Mir, kenapa kamu gak pacaran aja sih? Jangan terlalu idealislah, nanti gak dapat gebetan!!”. Udah mau kuliah juga kan? Pancing tania.

“Sorry tania, aku gak berniat untuk cari gebetan. Apalagi pacar. Diusiaku yang menginjak 22 tahun, ada banyak hal yang bisa aku lakukan. Menciptakan karya, melatih softskill, membenahi diri, dan mencapaian strategi yang matang di masa depan. Bukankah memasuki masa depan membutuhkan persiapan matang? Apalagi kita perempuan. So, aku tak mau melewatkannya. Dan perihal cinta-cintaan, ah . . .sudahlah. Aku tak mau menghabiskan waktu yang membuat ku rugi dan menyesal dikemudian hari. Biarlah aku titipkan pada yang menciptakan perasaan ini saja.”

“hahaha...aku pikir jawaban kau akan sama seperti para wanita lainnya, yang sedang mengidap penyakit budak cinta. Tidak hina memang memiliki rasa cinta. Karena itu adalah anugerah-Nya kan Mira? Tapi mengemas anugrah-Nya itu butuh ilmu. Agar kita tak keliru menyikapi rasa. Dengan baca buku, diskusi, ikut kajian, tak cukup dengan logika dan rasional dalam diri. Jika tidak, maka tergadaikanlah wanita oleh rasa sakit, depresi, trauma bahkan  bisa menjadi seperti “majnun” seperti judul buku yang kemaren telah kau lahap Mira. . . . . . hahaha.” Tawanya lepas, lega seperti  mengikhlaskan masa lalu  di belakang sebagai pelajaran.

“sudahlah Tania, ada yang lebih penting yang akan aku ceritakan dari pada masalah cinta-cintaan mu itu.” sambil mengeluarkan buku tebal dari dalam tas ransel rajutnya berwarna hitam. Dan senyum lebarnya mengikat.

“ada apa dengan kisah Shalahuddin Al-Ayubi? aku sudah membaca kisahnya Mira.”

“Tidak, kali ini yang akan aku ceritakanmu berbeda. Inti tentang impian, visi, cita, dan cinta. Ini tentang impian seorang ibu dan ayahnya di masa lalu. Dengarkan aku:
Kisah seorang penguasa Tikrit yang belum menikah. Dia bernama Najmun. Dia belum mendapatkan calon yang cocok dengannya. Dia kemudian dijodohkan oleh Asaduddin dengan para putri Sultan dan Menteri agung zaman Abbasiyah. Tapi Najmun menolak, dia hanya menginginginkan istri yang salihah yang biasa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia tarbiyah dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria serta mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin. Saat itu Najmun tinggal di daerah Tikrit, sementara Baitul Maqdis di jajah oleh Pasukan Salib. Najmunddin percaya, barangsiapa ikhlas niat karena Allah, akan Allah karuniakan pertolongan.”
Maka, pada suatu hari, Najmuddin duduk bersama seorang Syaikh di mesjid Tikrit dan berbincang-bincang. Datanglah seorang gadis memanggil Syeikh dibalik tirai dan Syeikh meminta izin Najmuddin untuk bicara dengan si gadis. Ternyata gadis itu menolak pemuda yang punya kedudukan dan ketampanan. Gadis itu berkata, “Aku ingin menikah dengan seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum Muslimin.”
            Najmudin tersentak, mendengarkan apa yang dikatakan oleh gadis itu. Dia cocok untuku! Jawab Najmudin. Semua ini terjadi kalau tak ada campur tangan Allah yang Maha Kuasa? Najmuddin menolak putri Sultan dan Menteri yang punya kecantikan dan kedudukan. Begitu juga gadis itu menolak pemuda yang punya kedudukan dan ketampanan.
Seketika itu Najmuddin berdiri memanggil Syeik, “Aku ingin menikah dengan gadis ini. Aku tak peduli dia seorang gadis kampung yang miskin. Aku ingin istri shalihah yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia didik jadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum Muslimin.”
Kemudian Najmuddin dengan gadis itu pun menikah. Tak lama kemudian, lahirlah putra Najmuddin yang menjadi ksatria yang mengembalikan Baitul Maqdis ke haribaan kaum muslimin. Anak itu lahir di benteng Tikrit, Irak. Anaknya bernama adalah Yusuf bin Najmuddin al-Ayyubi atau lebih dikenal dengan nama Shalahuddin Al Ayyubi. Seorang pemimpin, ulama dan penakluk Yarussalem. Dimana tepat pada 2 Oktober 1187 atau setelah tiga bulan berjibaku dalam pertempuran Hattin, Baitul Maqdis akhirnya kembali jatuh kepada pangkuan umat Islam melalui kepemimpinan pahlawan besar Islam Shalahuddin al Ayyubi. Allahu Akbar!


“Masyaallah Miraaaaa. . .ternyata ada visi yang luar biasa di balik mitsaqon gholidzo. Ketika mendidik 1 perempuan  maka kita dapat menyelamatkan 1 generasi. Seperti peran gadis itu.” Wajahnya penuh semangat, energinya meningkat seperti full tercas.
“Dan aku pun ingin menjadi bagian seperti gadis itu, memperbaiki peradaban ini. Memenuhi janji-Nya terhadap kemenangan islam ini, Tania. Semoga. Betapa pentingnya peran perempuan terhadap kelangsungan peradaban. Dia menegakkan, kokoh, menguatkan, maka dari itu perempuan harus cerdas, punya visi, kemudian tunduk dan patuh kepada-Nya. Karena perempuan yang akan menyelamatkan generasi ini untuk peradaban yang gemilang. Dan kita...masih harus banyak belajar untuk memantaskan diri lagi Tania.” tersenyum penuh harap dan hela nafas panjangnya membawa imajinasi.
***
Oleh: Fatimah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar