Saat
itu masih berbinar-binar mata Aira, keharuan dengan hasil terbaik yang Allah
limpahkan atas usahanya setiap malam. Tugas kuliah yang menghabiskan waktu di tengah malamnya, ia berkutat dengan buku
dan laptop, dan malah lebih sering lagi duduk di lingkaran diskusi siang itu.
Diskusi yang melahirkan banyak wacana dari dalam pemikiran dirinya dan
teman-teman sejawatnya. Yang siap direalisasikannya segera. Melirik kawasan
kampus yang berisikan orang-orang intelektual, gaya bicaranya kritis, pemikirannya
bebas, budi pekertinya terdepan. Tapi dipinggirannya ternyata ada rumah-rumah
yang sekedar cukup untuk makan dan melanjutkan hidup. Dari sinilah wacana Aira
bersama teman-temannya di mulai.
“Yaya,
besok sore kita rapat di pendopo FISIP ya. Jam 15.30 ba’da ashar. Tolong kamu
kabarin yang lain ya.”
“Sore
banget Aira? Nanti yang rumahnya jauh gimana pulangnya? Kesorean kan!?.” Alisnya mengerut sambil
mengangkat tangannya ke dagunya yang runcing.
“Aku udah
estimasi waktu yak, inshAllah jam 5 sudah kita tutup rapatnya.” Tuturnya sambil
melihat jam berwarna hitam dengan style casual di tangan kanannya.
“Aku sih
nyantai aja Ra, rumah ku dekat sini. Tapi coba kamu pikirin juga lah Ra yang
gak ada kendaraan, jam segitu bus ke kota sudah gak lewat lagi kan.”
“Yak,
kalo kita rapatnya di jam siang temen-temen pada ada jam kuliah yayaaaaak...! kalo
aku maunya, lebih cepat lebih bagus. Tumben kamu sepeduli ini sama teman-teman
buat jadwal rapat?”
“Semenjak
banyak kecelakaan memakan korban yang meninggal di persimpangan antar kota dan
arah ke kampus kita, kadang aku parno sendiri Aira.” Mata yaya memerah,
sebentar lagi bulir kristal kecil itu turun dari matanya.
“Yak,
tetap lantunkanlah doa dimana pun teman-teman berada. Bukankah ikatan karena
keimanan ini begitu kuat jika di ikat dengan doa? Dan takdir setiap kita sudah
Allah tentukan Yaya. Rezki, kematian dan jodoh itu semua telah ditentukan-Nya.
Dan ketika kita melakukan segala aktivitas yang baik dan dilandasi niat karena
Allah, kemudian diperjalanan kita meninggal. InshaAllah Allah ridho. Semoga
husnul khotimah.” Aira menggandeng tangan Yaya ke arah kursi taman.
“Aku cuma
realistis aja Aira terhadap apa yang aku lihat.” Lugas Yaya dengan langkah
kecil menyeruput pinggir rumputan yang segar setelah hujan hari itu.
“kamu
khawatir sama Aisyah ?” wajahnya menghadap Yaya penuh tanda tanya.
“Aku
sudah pernah ke rumahnya, lumayan jauh dari sini. Bukan hanya itu Aira, kadang
dia pulang dari fakultas jalan kaki ke depan kampus karena kesorean ikut rapat.
Sementara bus kampus sudah gak ada lagi ke kota
jam segitu. Dia emang gak pernah ngeluh, semua tugas kuliahnya terbaik,
mahasiswa terbaik, di organisasi pun menunaikan amanah dengan baik. Aku pikir,
aku tidak berlebihan memikirkan ini untuknya. Ku pikir ini bagian ukhuwah.
Dimana kita bisa saling menanggung saudara. Dan kamu belum tahu kan Aira
bagaimana peliknya dia menyelesaikan masalah ekonominya. Dia yakin bahwa Allah
yang akan menyelesaikannya dengan cara-Nya.” Panjang Yaya dengan sorotan
matanya bertemu dengan Aira.
“Aku baru
tau tentang ini. Baik Yak, mulai hari ini apa-apa yang menyangkut Aisyah tolong
kamu kabari aku. Kita saling menanggungnya. Kamu siap juga kan Yaya?” tegas
Aira.
“Serius
Aira?” matanya membesar dengan mulut yang terbuka
“ InshaAllah selagi aku mampu. Jika aku mampu
dengan kepalaku, aku berikan pikiranku. Jika aku mampu dengan kedudukanku aku
bantu dengan kedudukanku. Jika aku mampu dengan hartaku, aku berikan apa yang
aku punya.” Tegas Aira.
“Eleuh...kedudukan?
emang kamu sopo toh mbak Aira? Presiden bukan,
wong berpangkat bukan.” Celetuk Yaya.
“hehe
setidaknya aku adalah mahasiswa. Yang berpikir dan bertindak merdeka. Yak, besok
temani aku silahturahim ke rumah Aisyah ya.” Pinta Aira
“Siap.”
Tersenyum lega jempolnya terangkat tepat di depan wajahnya.
**
Sore
hari itu rapat telah usai, semua program telah disepakati dan siap dijalankan.
Aira datang menghampiri Aisyah yang sedari tadi sudah berjalan menyelusuri
konblok tak berpasir itu. Aira membunyikan klaksonnya kemudian berhenti tepat
di samping Aisyah. Tawaran Aira pun diterima dan Aisyah dengan simpul senyum
tenang duduk di belakang Aira.
Sudah
tiga puluh menit berlalu di perjalanan, banyak hal yang Aira dapat tentang
Aisyah. Dan tersadar adzan magrib berkumandang. Aira mengarahkan sentnya ke
kiri memasuki Masjid dan mengambil area parkir roda dua.
“kamu
bawa minum Aisyah?” tanya Aira
“Gak
Aira” jawabnya tenang.
“Ini air
minum aku masih banyak, cukuplah ya buat kamu buka puasa. Nanti setelah sholat
kita mampir beli cemilan di depan.” Sambil memegang botol ukuran dua liter air.
“Makasih
ra, aku makan cemilannya di rumah saja” balasnya dengan senyum, tangannya menyambut
botol besar berwarna hijau seperti anak galon itu. duduk sejenak berdoa dan membatalkan puasanya.
Kemudian mereka melangkah memasuki batas suci.
Di
dalam masjid satu shaff panjang telah bergerak mengagungkan Allah SWT. Mereka
mengikuti shaff dengan rapat. Seusai salam, tampak kiri kanan saling
menjulurkan tangan satu sama lain. Sambil mengucapkan Assalamualaikum
warohmatullahi wabarakatuh dengan simpul senyum dan jabat tangan yang erat.
Begitulah masjid, menghadirkan ketenangan dan kenyamanan. Di sudut kanan masjid
telah berjajar mereka yang sedanga sibuk
dengan mushaf, lembar iqro’ dan lehar kecil, sarung yang cingkrang, peci miring
dan mukena besar menyeret lantai. Merekalah peradaban gemilang. Aira menatap
mereka lama, mungkin intuisinya sedang melalang bersama imajinasi. Kemudian
ustadzah mereka menepuk pundak Aira.
“Mbak,
itu jam nya ketinggalan ?” tangannya memberikan jam berwarna hitam dengan style
casual kepada Aira.
“makasih
bu.” Senyum Aira sambil malu-malu.
“kami
permisi bu.” Tambah Aisyah undur diri dengan asatidzah masjid itu.
Mereka
melanjutkan perjalanan kembali. Senja dan jingga tak nampak lagi, tinggal
semilir angin bersama debu malam merayap jalanan. Sesekali Aisyah melihat
handphone. Khawatir ibunya menelpon seperti biasanya. Tapi tak ada panggilan
masuk di layar kaca handpohone kecilnya yang selebar genggamannya itu. Kemudian
motor berwarna biru milik Aira kembali minggir dijalanan trotoar. Aira bergegas
masuk ke minimarket kecil kiri jalan mencarikan pengganjal lambung untuk
Aisyah. Sementara Aisyah memilih menunggu duduk di atas motor biru itu dengan
hening, antara lamunan atau zikir yang dia lakukan. Jelas masih sunyi.
“Aku
pilih roti isi coklat, dan susu dingin coklat. Persis kesukaanmu kan?” Aira
membawa kresek kecil putih untuk Aisyah.
“hehehe,
makasih Aira aku jadi merepotkan. Berapa semuanya?” tanya Aisyah sambil membuka
dompetnya berwarna hitam.
“Gak
apa-apa, simpan buat keperluanmu yang lain.” Aisyah tersenyum sambil menghidupkan
motor kesayangannya itu kemudian melaju.
"Terima kasih Aira" lugas Aisyah tangannya menerima kresek putih itu.
"Terima kasih Aira" lugas Aisyah tangannya menerima kresek putih itu.
Ada
beberapa pertanyaan dibenak Aira tentang Aisyah yang ingin dia sampaikan. Tapi
Aisyah masih sibuk dengan susu coklat kesukaannya di belakang Aira. Sesekali
dia gigit potongan kecil di tangannya yang berisikan coklat itu.
“Aira...”
panggil Aisyah dengan lembut dari belakang.
“iyaa
...?”
“kenapa
diam?” tanya Aisyah sambil menatap ke spion melihat wajah Aira.
“gak
apa-apa Syah.” Wajah mereka saling tatap di spion kiri milik Aira.
“Syah,
kalo ada yang bersedia untuk menikah denganmu di semester ini gimana?” tanya
Aira sayup-sayup.
“uhuk..uhuk...uhuk”
Aisyah tersedak. Motor Aira kembali berhenti kepinggir jalan sebelah kiri.
“kamu
kenapa? Terkejutkah?” Aira sambil tertawa
“Aku ya
ra?”
“Iya ikhwannya mau
menikah sama kamu. Gimana? siap?”. Todong Aira dengan wajah mereka saling
menatap lagi.
“Gak ra.
Aku belum siap.” ekspresinya datar
“hehehe...jangan
dipikirin ah...Aku cuma nanya gak maksa kok. Karena ada mbak Ratna kemarin
nanya. Aisyah udah siap nikah atau belum.” Aisyah sambil melanjutkan perjalanan
lagi.
“hehehe....aku
masih ingin fokus cari ilmu dulu untuk mempersiapkan semuanya itu Aira” jelas
Aisyah.
“Dengan
kamu menikah kamu bisa lebih tenang menjalani dakwahmu, menyelesaikan semua
beban bersama, dan menjadikan kita kaya. Kaya keberkahan bukan? Karena menikah
itu membahagiakan, menenangkan, mententramkan. Setiap perjalanannya adalah
ibadah.” Sanggah Aira sambil senyum-senyum.
“Menikah
itu untuk seumur hidup Aira. Menikah tidak hanya tentang bahagia. Menikah itu
siap menderita, siap berjuang, siap menghadapi semua masalah bersama, siap
memahami, siap mengalah, siap untuk saling menerima. Jadi butuh persiapan diri
yang sangat matang. Dan apa yang menjadi bebanku saat ini, aku selalu berdoa
kepada Allah. Biar lah Dia yang menyelesaikannya. Bukankah kita hidup dan bergerak
di sini hanya untuk Allah, cukuplah Dia
yang menjadi alasan atas segala-galanya. Apakah kamu sudah siap Aira?” jawab
Aisyah.
“loh..kok
aku? aku masih riweuh ini syah. Masih belum sabar, masih acak-acakan, masih
egois, belum cukup ilmu. Dan jauh banget lah untuk jadi istri idaman. Kalo kamu
itukan, sabar, pinter, cerdas, mandiri, pandai berdikari, bisa jahit, bisa
masak, bisa menyulam. Idaman banget. Tunggu apa lagi Aisyah....” Panjang Aira.
“Aku udah
janji sama ibu dan ayah syah, aku mau selesaikan skripsi aku dulu. Mereka
memang gak pernah melarang aku menikah muda. Tapi bagiku ada kewajiban yang
harus aku tunaikan setelah jerih payah mereka berharap aku bisa sekolah
setinggi-tingginya.” Jelas Aisyah.
“Terus,
jika suatu hari nanti setelah menikah, kamu gak mau lanjut lagi syah?” tanya
Aira sambil memasuki gang rumah Aisyah.
“Sebenarnya
belajar itu sepanjang hayat kan Aira? Keinginan untuk menuntut ilmu itu akan
selalu ada. Biarlah rahasia yang menjawab apa, kapan dan bagaimana.”jawab Aisyah
dengan lembut dan santai kemudian turun dari motor kesayangan Aira.
“Baiklah
Aisyah...hari ahad kita jadi masak-masak kan?.” Tanya Aira. Aira menjulurkan
tangan dan berjabat dengan Aisyah.
“oke. Aku
tunggu di rumah ya. Kamu yang ingetin
akhwat seangkatan ya. Dan jangan lupa bawain buku aku yang kamu pinjam waktu
lalu. Keakhwatan satu sampe ke empat. Soalnya pengunjung perpus miniku di rumah
ada yang mau pinjam.” Pinta Aisyah.
“Siap...Aisyah.
aku pamit pulang. Asalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh” jempolnya
terangkat ke atas kepalanya dan melambaikan tangan”
***
Oleh: Fatimah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar