Senin, 13 Januari 2020

Cerpen :Dia yang menjadi alasan


Saat itu masih berbinar-binar mata Aira, keharuan dengan hasil terbaik yang Allah limpahkan atas usahanya setiap malam. Tugas kuliah yang menghabiskan waktu  di tengah malamnya, ia berkutat dengan buku dan laptop, dan malah lebih sering lagi duduk di lingkaran diskusi siang itu. Diskusi yang melahirkan banyak wacana dari dalam pemikiran dirinya dan teman-teman sejawatnya. Yang siap direalisasikannya segera. Melirik kawasan kampus yang berisikan orang-orang intelektual, gaya bicaranya kritis, pemikirannya bebas, budi pekertinya terdepan. Tapi dipinggirannya ternyata ada rumah-rumah yang sekedar cukup untuk makan dan melanjutkan hidup. Dari sinilah wacana Aira bersama  teman-temannya di mulai. 
“Yaya, besok sore kita rapat di pendopo FISIP ya. Jam 15.30 ba’da ashar. Tolong kamu kabarin yang lain ya.”
“Sore banget Aira? Nanti yang rumahnya jauh gimana pulangnya?  Kesorean kan!?.” Alisnya mengerut sambil mengangkat tangannya ke dagunya yang runcing.
“Aku udah estimasi waktu yak, inshAllah jam 5 sudah kita tutup rapatnya.” Tuturnya sambil melihat jam berwarna hitam dengan style casual di tangan kanannya.
“Aku sih nyantai aja Ra, rumah ku dekat sini. Tapi coba kamu pikirin juga lah Ra yang gak ada kendaraan, jam segitu bus ke kota sudah gak lewat lagi kan.”
“Yak, kalo kita rapatnya di jam siang temen-temen pada ada jam kuliah yayaaaaak...! kalo aku maunya, lebih cepat lebih bagus. Tumben kamu sepeduli ini sama teman-teman buat jadwal rapat?”
“Semenjak banyak kecelakaan memakan korban yang meninggal di persimpangan antar kota dan arah ke kampus kita, kadang aku parno sendiri Aira.” Mata yaya memerah, sebentar lagi bulir kristal kecil itu turun dari matanya.
“Yak, tetap lantunkanlah doa dimana pun teman-teman berada. Bukankah ikatan karena keimanan ini begitu kuat jika di ikat dengan doa? Dan takdir setiap kita sudah Allah tentukan Yaya. Rezki, kematian dan jodoh itu semua telah ditentukan-Nya. Dan ketika kita melakukan segala aktivitas yang baik dan dilandasi niat karena Allah, kemudian diperjalanan kita meninggal. InshaAllah Allah ridho. Semoga husnul khotimah.” Aira menggandeng tangan Yaya ke arah kursi taman.
“Aku cuma realistis aja Aira terhadap apa yang aku lihat.” Lugas Yaya dengan langkah kecil menyeruput pinggir rumputan yang segar setelah hujan hari itu.
“kamu khawatir sama Aisyah ?” wajahnya menghadap Yaya penuh tanda tanya.
“Aku sudah pernah ke rumahnya, lumayan jauh dari sini. Bukan hanya itu Aira, kadang dia pulang dari fakultas jalan kaki ke depan kampus karena kesorean ikut rapat. Sementara bus kampus sudah gak ada lagi ke kota  jam segitu. Dia emang gak pernah ngeluh, semua tugas kuliahnya terbaik, mahasiswa terbaik, di organisasi pun menunaikan amanah dengan baik. Aku pikir, aku tidak berlebihan memikirkan ini untuknya. Ku pikir ini bagian ukhuwah. Dimana kita bisa saling menanggung saudara. Dan kamu belum tahu kan Aira bagaimana peliknya dia menyelesaikan masalah ekonominya. Dia yakin bahwa Allah yang akan menyelesaikannya dengan cara-Nya.” Panjang Yaya dengan sorotan matanya bertemu dengan Aira.
“Aku baru tau tentang ini. Baik Yak, mulai hari ini apa-apa yang menyangkut Aisyah tolong kamu kabari aku. Kita saling menanggungnya. Kamu siap juga kan Yaya?” tegas Aira.
“Serius Aira?” matanya membesar dengan mulut yang terbuka
 “ InshaAllah selagi aku mampu. Jika aku mampu dengan kepalaku, aku berikan pikiranku. Jika aku mampu dengan kedudukanku aku bantu dengan kedudukanku. Jika aku mampu dengan hartaku, aku berikan apa yang aku punya.” Tegas Aira.
“Eleuh...kedudukan? emang kamu sopo toh mbak Aira? Presiden bukan,  wong berpangkat bukan.” Celetuk Yaya.
“hehe setidaknya aku adalah mahasiswa. Yang berpikir dan bertindak merdeka. Yak, besok temani aku silahturahim ke rumah Aisyah ya.” Pinta Aira
“Siap.” Tersenyum lega jempolnya terangkat tepat di depan wajahnya.
**
Sore hari itu rapat telah usai, semua program telah disepakati dan siap dijalankan. Aira datang menghampiri Aisyah yang sedari tadi sudah berjalan menyelusuri konblok tak berpasir itu. Aira membunyikan klaksonnya kemudian berhenti tepat di samping Aisyah. Tawaran Aira pun diterima dan Aisyah dengan simpul senyum tenang duduk di belakang Aira.
Sudah tiga puluh menit berlalu di perjalanan, banyak hal yang Aira dapat tentang Aisyah. Dan tersadar adzan magrib berkumandang. Aira mengarahkan sentnya ke kiri memasuki Masjid dan mengambil area parkir roda dua. 
“kamu bawa minum Aisyah?” tanya Aira
“Gak Aira” jawabnya tenang.
“Ini air minum aku masih banyak, cukuplah ya buat kamu buka puasa. Nanti setelah sholat kita mampir beli cemilan di depan.” Sambil memegang botol ukuran dua liter air.
“Makasih ra, aku makan cemilannya di rumah saja” balasnya dengan senyum, tangannya menyambut botol besar berwarna hijau seperti anak galon itu.  duduk sejenak berdoa dan membatalkan puasanya. Kemudian mereka melangkah memasuki batas suci.
Di dalam masjid satu shaff panjang telah bergerak mengagungkan Allah SWT. Mereka mengikuti shaff dengan rapat. Seusai salam, tampak kiri kanan saling menjulurkan tangan satu sama lain. Sambil mengucapkan Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh dengan simpul senyum dan jabat tangan yang erat. Begitulah masjid, menghadirkan ketenangan dan kenyamanan. Di sudut kanan masjid telah berjajar mereka yang  sedanga sibuk dengan mushaf, lembar iqro’ dan lehar kecil, sarung yang cingkrang, peci miring dan mukena besar menyeret lantai. Merekalah peradaban gemilang. Aira menatap mereka lama, mungkin intuisinya sedang melalang bersama imajinasi. Kemudian ustadzah mereka menepuk pundak Aira.
“Mbak, itu jam nya ketinggalan ?” tangannya memberikan jam berwarna hitam dengan style casual kepada Aira.
“makasih bu.” Senyum Aira sambil malu-malu.
“kami permisi bu.” Tambah Aisyah undur diri dengan asatidzah masjid itu.
Mereka melanjutkan perjalanan kembali. Senja dan jingga tak nampak lagi, tinggal semilir angin bersama debu malam merayap jalanan. Sesekali Aisyah melihat handphone. Khawatir ibunya menelpon seperti biasanya. Tapi tak ada panggilan masuk di layar kaca handpohone kecilnya yang selebar genggamannya itu. Kemudian motor berwarna biru milik Aira kembali minggir dijalanan trotoar. Aira bergegas masuk ke minimarket kecil kiri jalan mencarikan pengganjal lambung untuk Aisyah. Sementara Aisyah memilih menunggu duduk di atas motor biru itu dengan hening, antara lamunan atau zikir yang dia lakukan. Jelas masih sunyi.
“Aku pilih roti isi coklat, dan susu dingin coklat. Persis kesukaanmu kan?” Aira membawa kresek kecil putih untuk Aisyah.
“hehehe, makasih Aira aku jadi merepotkan. Berapa semuanya?” tanya Aisyah sambil membuka dompetnya berwarna hitam.
“Gak apa-apa, simpan buat keperluanmu yang lain.” Aisyah tersenyum sambil menghidupkan motor kesayangannya itu kemudian melaju.

"Terima kasih Aira" lugas Aisyah tangannya menerima kresek putih itu. 
Ada beberapa pertanyaan dibenak Aira tentang Aisyah yang ingin dia sampaikan. Tapi Aisyah masih sibuk dengan susu coklat kesukaannya di belakang Aira. Sesekali dia gigit potongan kecil di tangannya yang berisikan coklat itu. 
“Aira...” panggil Aisyah dengan lembut dari belakang.
“iyaa ...?”
“kenapa diam?” tanya Aisyah sambil menatap ke spion melihat wajah Aira.
“gak apa-apa Syah.” Wajah mereka saling tatap di spion kiri milik Aira.
“Syah, kalo ada yang bersedia untuk menikah denganmu di semester ini gimana?” tanya Aira sayup-sayup.
“uhuk..uhuk...uhuk” Aisyah tersedak. Motor Aira kembali berhenti kepinggir jalan sebelah kiri.
“kamu kenapa? Terkejutkah?” Aira sambil tertawa 
“Aku ya ra?”
“Iya ikhwannya mau menikah sama kamu. Gimana? siap?”. Todong Aira dengan wajah mereka saling menatap lagi.

“Gak ra. Aku belum siap.” ekspresinya datar
“hehehe...jangan dipikirin ah...Aku cuma nanya gak maksa kok. Karena ada mbak Ratna kemarin nanya. Aisyah udah siap nikah atau belum.” Aisyah sambil melanjutkan perjalanan lagi.
“hehehe....aku masih ingin fokus cari ilmu dulu untuk mempersiapkan semuanya itu Aira” jelas Aisyah.
“Dengan kamu menikah kamu bisa lebih tenang menjalani dakwahmu, menyelesaikan semua beban bersama, dan menjadikan kita kaya. Kaya keberkahan bukan? Karena menikah itu membahagiakan, menenangkan, mententramkan. Setiap perjalanannya adalah ibadah.” Sanggah Aira sambil senyum-senyum.
“Menikah itu untuk seumur hidup Aira. Menikah tidak hanya tentang bahagia. Menikah itu siap menderita, siap berjuang, siap menghadapi semua masalah bersama, siap memahami, siap mengalah, siap untuk saling menerima. Jadi butuh persiapan diri yang sangat matang. Dan apa yang menjadi bebanku saat ini, aku selalu berdoa kepada Allah. Biar lah Dia yang menyelesaikannya. Bukankah kita hidup dan bergerak di sini  hanya untuk Allah, cukuplah Dia yang menjadi alasan atas segala-galanya. Apakah kamu sudah siap Aira?” jawab Aisyah.
“loh..kok aku? aku masih riweuh ini syah. Masih belum sabar, masih acak-acakan, masih egois, belum cukup ilmu. Dan jauh banget lah untuk jadi istri idaman. Kalo kamu itukan, sabar, pinter, cerdas, mandiri, pandai berdikari, bisa jahit, bisa masak, bisa menyulam. Idaman banget. Tunggu apa lagi Aisyah....” Panjang Aira.
“Aku udah janji sama ibu dan ayah syah, aku mau selesaikan skripsi aku dulu. Mereka memang gak pernah melarang aku menikah muda. Tapi bagiku ada kewajiban yang harus aku tunaikan setelah jerih payah mereka berharap aku bisa sekolah setinggi-tingginya.” Jelas Aisyah.
“Terus, jika suatu hari nanti setelah menikah, kamu gak mau lanjut lagi syah?” tanya Aira sambil memasuki gang rumah Aisyah.
“Sebenarnya belajar itu sepanjang hayat kan Aira? Keinginan untuk menuntut ilmu itu akan selalu ada. Biarlah rahasia yang menjawab apa, kapan dan bagaimana.”jawab Aisyah dengan lembut dan santai kemudian turun dari motor kesayangan Aira.
“Baiklah Aisyah...hari ahad kita jadi masak-masak kan?.” Tanya Aira. Aira menjulurkan tangan  dan berjabat dengan Aisyah.
“oke. Aku tunggu di rumah ya. Kamu  yang ingetin akhwat seangkatan ya. Dan jangan lupa bawain buku aku yang kamu pinjam waktu lalu. Keakhwatan satu sampe ke empat. Soalnya pengunjung perpus miniku di rumah ada yang mau pinjam.” Pinta Aisyah.
“Siap...Aisyah. aku pamit pulang. Asalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh” jempolnya terangkat ke atas kepalanya dan melambaikan tangan”
***
Oleh: Fatimah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar