Buku ini tidak menguraikan tentang
tasawuf, meski judulnya Tasawuf Modern. Buku yang sangat bagus. Memberikan
pandangan yang menarik dari berbagai sudut, dan dari berbagai kalangan pula. Temanya
tentang bahagia, topik yang tidak pernah selesai diperbincangkan, dan selalu
ingin diwujudkan oleh siapa pun, di mana pun, dan dengan cara apa pun.
Cover
depan buku ini berwarna abu dengan list hijau dengan sedikit estetik dibagian
bawah, di bagian tengahnya tampak jelas dengan judul besar Tasawuf Modern, “Bahagia itu
Dekat dengan Kita, Ada di dalam Diri Kita”. Dan di pinggir buku tertulis
nama sang penulis “Prof.DR Hamka”.
Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1939. Mulai dari cetakan ke 1 di
tahun 2015 sampai cetakan ke 10 tahun 2018. Yang diterbitkan oleh Republika
Penerbit. Buku ini terdiri dari 12 bab dengan 377 halaman.
Buku
ini ditulis oleh cendekiawan muslim berwawasan luas, dengan latar belakang
sastrawan, menjadikan buku ini bukan saja kaya makna tapi juga dengan bahasa
yang mudah di pahami dan ringan. Beliau adalah Buya Hamka yang bernama lengkap
Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir di Sumatra Barat. Buya Hamka adalah
seorang otodidak dalam berbagai ilmu pengetahuan; filsafatsastra, sejarah,
poliik maupun islam barat. Kegigihannya banyak membaca adalah modalnya, belajar
langsung dari tokoh dan ulama di Sumatera Barat sampai ke Mekkah. Buku ini
mengupas lebih rinci hakikat kebahagiaan yang sebenarnya, mulai dari pendapat
timur, filsafat barat dan filsafat islam itu sendiri. Menyentuh dari berbagai
sisi kehidupan manusia.
Begitu
banyak yang menerima sambutan atas buku ini. Mulai dari seorang dokter terhadap
pasien yang memberikan rujukan untuk membaca buku ini, kemudian sepasang
suami-istri yang mencari kehidupan bahagia. Dan juga dengan perantara buku ini
pun telah menyelamatkan sang penulis dari ujian yang berat.”Tasawuf Modern!.”
Begitu banyak lika-liku perjalanan penulis, pernah membuatnya terguncang.
Ditemani dengan tulisan inilah, penulis bangkit, percaya dan bertahan kemudian
terbitlah sebuah buku ini.
Tasawuf
Arti
tasawuf setengahnya diambil dari perkataan shifa’,
artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. Setengahnya lagi dari kata shuf, artinya bulu binatang. Karena
orang yang memasuki tasawuf benci dengan pakaian yang indah-indah. Asalnya “Theosofie” artinya “ilmu ketuhanan”.
Kehidupan yang asalnya daripada zuhud, dan membenci kemegahan dunia yang telah
dicapai orang lain atau kehidupan mencari kekayaan di dalam hati sendiri,
bertambah lama, bertambah maju dan bertambah dalam. Dan di dalam tasawuf itulah
timbul kajian tentang arti ma’rifat atau sa’adah (bahagia), dan bagaimana
ikhtiar untuk mencapai perhubungan yang kekal dengan Tuhan.
Ibnu
Khaldun
berkata,
“Tasawuf itu adalah semacam ilmu syar’iyah yang timbul kemudian di dalam agama.
Asalnya ialah bertekun beribadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain
Allah, hanya menghadap Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta
membenci perkara-perkara yang selalu
memperdaya orang banyak, kelezatan harta benda, dan kemegahan. Dan menyendiri
menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah.
Tasawuf
yang dimaksud dalam buku ini adalah keluar dari budi perangai yang tercela dan
masuk kepada budi perangai yang terpuji.
Pendapat Tentang Bahagia
Dalam
buku ini dipaparkan pendapat bahagia dari para tokoh. Kalau kita perturutkan,
bahagia itu mempunyai kaidah sebanyak orang, sebanyak penderitaan, sebanyak
pengalaman, sebanyak kekecewaan.
Orang fakir mengatakan bahagia pada kekayaan.
Orang sakit mengatakan bahagia pada kesehatan.
Orang yang telah terjerumus ke lembah dosa
mengatakan bahwa terhenti dari dosa itulah kebahagiaan.
Seorang yang rindu
atau bercinta, mengatakan hasil maksudnya itulah bahagia.
Seorang penganjur rakyat berpendapat bahwa
kemerdekaan dan kecerdasan umat bangsa yang dipimpinnya itulah bahagia.
Seorang pengarang syair merasa bahagia jika syairnya
jadi hafalan orang.
Seorang jurnal merasa bahagia jika surat kabarnya
dan timbangan redaksinya dipahami orang.
Kebahagiaan itu
pernah dinyanyikan oleh seorang ahli syair bernama Hutai’ah;
“Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada
mengumpulkan harta benda, tetapi taqwa akan Allah itulah bahagia. Taqwa akan
Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan. Pada sisi Allah sajalah
kebahagiaan para orang yang taqwa.
Imam Al-Ghazali,
orang tua dan panutan dari segala tabib jiwa berpendapat bahwa:
“Bahagia adalah kelezatan yang sejati, ialah
bilamana dapat mengingat Allah. Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila
kita merasakan nikmat kesenangan dan kelezatannya. Dan kelezatan itu ialah
menurut tabiat kejadian masing-masing, maka kelezatan ialah melihat rupa yang
indah, kenikmatan telinga mendengar suara merdu, demikianlah pula segala anggota
yang lain di tubuh manusia. Adapun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada
Allah, karena hati itu dijadikan untuk mengingat Allah.
Menurut Aristoteles:”Bahagia
itu ialah tujuan tiap-tiap diri. Kebaikan umum itu ialah suatu perkara, yang
bila tercapai, maka kita tidak berkehendak lagi dengan yang lain. Tetapi
bahagia ialah anugerah Allah kepada tiap-tiap diri yang dipilih-Nya, yang boleh
jadi orang lain tidak merasakannya, meskipun yang memperoleh bahagia dengan
yang tidak memperoleh itu berkumpul setiap hari”.
Menurut Leo Tolstoy, berpendapat
bahwa yang menjadi sebab manusia putus asa di dalam mencari bahagia, ialah
karena bahagia itu diambilnnya untuk dirinya
sendiri, bukan untuk bersama. Bahagia tidaklah akan didapat di dalam
hidup yang gelap melainkan kepada kehidupan yang penuh Nur, penuh cahaya
gemilang. Hidup bercahaya dan berseri ialah hidup yang sudi mengorbankan kesenangan
dan kebahagiaan bersama untuk menghilangkan segala permusuhan dan kebencian
yang melekat di dalam jantung Anak Adam, yang terbit lantaran hawa nafsu dan
syahwat , yang semuanya itu membawa manusia kepada gelap-gulita. Hidup yang
gilang-gemilang itu ialah berkorban.
Pendapat Nabi Muhammad shallaulahualaihi
wassalam tentang bahagia, dari Aisyah radhiyallahu’anha bahwa pada suatu
hari dia bertanya kepada Rasulullah shallaulahualaihi wassalam:
“Ya,
Rasulullah, dengan apakah berkelebihan setengah manusia dari yang setengahnya?”
“Dengan
akal !”
“Dan
di Akhirat ?”
“Dengan
akal juga”. kata beliau
“Bukankah
seorang manusia lebih dari manusia yang lain dari hal pahala lantaran amal
ibadahnya?” kata Aisyah.
“Hai
Aisyah, bukankah amal ibadah yang mereka kerjakan itu hanya menurut kadar
akalnya? Sekadar ketinggian derajat akalnya, sebegitulah ibadah mereka dan
menurut amal itu pula pahala yang diberikan kepada mereka.”
Rasulullah
shallaulahualaihi wassalam bersabda : “Allah telah membagi akal kepada tiga
bagian, siapa yang cukup mempunyai ketiga bagiannya, sempurnalah akalnya, kalau
kekurangan walau sebagian, tidaklah ia terhitung orang yang berakal.”
Orang
bertanya: “Ya Rasulullah, manakah bagian yang tiga macam itu?
“Pertama
baik ma’rifatnya dengan Allah. Kedua, baik taatnya bagi Allah. Ketika, baik pula sabarnya atas ketentuan Allah.”
Jawab Rasulullah shallaulahualaihi wassalam.
Dapat
kita ambil kesimpulan dari sabda Nabi tersebut, bahwa derajat bahagia manusia
itu menurut derajat akalnya, karena akal lah yang dapat membedakan antara baik
dengan buruk, akal yang dapat menerangkan segala pekerjaan, akal yang
menyelidiki hakikat dan kejadian segala sesuatu yang dituju dalam perjalanan
hidup ini.
Oleh
agama perjalanan bahagia itu telah diberi batas. Puncaknya yang penghabisan
ialah kenal akan Tuhan, baik ma’rifat kepada-Nya, baik taat kepada-Nya dan baik
sabar atas musibah-Nya. Tidak ada lagi hidup diatas itu. Sebab itu sekali-kali
tidaklah bernama bahagia dan nikmat jika hati dan khayal kita hanya kaitkan
dengan segala isi alam yang lahir ini, yang harganya menurut keinginan kita.
Jangan terlalu diperintah oleh khayal, angan-angan, oleh fantasi, karena itu
jugalah yang mengencongkan kita dari bahagia yang sebenarnya tujuan hidup, yang
mulanya tangis akhirnya tertawa, dan mulanya pahit akhirnya manis.
Sekarang
mengertilah kita, bahwa segala sesuatu di dalam alam ini baik buruknya bukanlah
pada zat sesuatu itu, tetapi pada penghargaan kehendak kita atasnya, menurut
tinggi rendahnya akal kita. Apalah gunanya pena emas bagi orang yang tak pandai
menulis? Apalah harga Al-Qur’an bagi seorang Vrijdenker (tidak beragama)?
Apalah harga intan bagi orang gila? Sebab itulah kita manusia disuruh
membersihkan akal budi, supaya dengan dia kita mencapai bahagia yang sejati.
Ada
orang orang yang berkata bahwa pengalaman dan penderitaan hidup itu paling di
dalam menuju bahagia. Tetapi kita berpendapat lain. Kalau hanya dengan
pengalaman saja, tentu umur akan habis sebab pengalaman itu kian hari kian
ganjil, pengalalaman kemarin tidak ada lagi sekarang, begitupun nanti. Usia pun
habislah sebelum pengalaman penuh, rahmat dan ketentraman tentu tidak akan ada,
sehingga bahagia hanya jadi kenangan-kenangan saja.
Sumber: Tasawuf
Modern (Buya Hamka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar