Kamis, 26 Maret 2020

Resensi Buku Buya Hamka “Tasawuf Modern” Part 1



            Buku ini tidak menguraikan tentang tasawuf, meski judulnya Tasawuf Modern. Buku yang sangat bagus. Memberikan pandangan yang menarik dari berbagai sudut, dan dari berbagai kalangan pula. Temanya tentang bahagia, topik yang tidak pernah selesai diperbincangkan, dan selalu ingin diwujudkan oleh siapa pun, di mana pun, dan dengan cara apa pun.

Cover depan buku ini berwarna abu dengan list hijau dengan sedikit estetik dibagian bawah, di bagian tengahnya tampak jelas dengan judul besar Tasawuf Modern, “Bahagia itu Dekat dengan Kita, Ada di dalam Diri Kita”. Dan di pinggir buku tertulis nama sang penulis “Prof.DR Hamka”. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1939. Mulai dari cetakan ke 1 di tahun 2015 sampai cetakan ke 10 tahun 2018. Yang diterbitkan oleh Republika Penerbit. Buku ini terdiri dari 12 bab dengan 377 halaman.

Buku ini ditulis oleh cendekiawan muslim berwawasan luas, dengan latar belakang sastrawan, menjadikan buku ini bukan saja kaya makna tapi juga dengan bahasa yang mudah di pahami dan ringan. Beliau adalah Buya Hamka yang bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir di Sumatra Barat. Buya Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai ilmu pengetahuan; filsafatsastra, sejarah, poliik maupun islam barat. Kegigihannya banyak membaca adalah modalnya, belajar langsung dari tokoh dan ulama di Sumatera Barat sampai ke Mekkah. Buku ini mengupas lebih rinci hakikat kebahagiaan yang sebenarnya, mulai dari pendapat timur, filsafat barat dan filsafat islam itu sendiri. Menyentuh dari berbagai sisi kehidupan manusia.

Begitu banyak yang menerima sambutan atas buku ini. Mulai dari seorang dokter terhadap pasien yang memberikan rujukan untuk membaca buku ini, kemudian sepasang suami-istri yang mencari kehidupan bahagia. Dan juga dengan perantara buku ini pun telah menyelamatkan sang penulis dari ujian yang berat.”Tasawuf Modern!.” Begitu banyak lika-liku perjalanan penulis, pernah membuatnya terguncang. Ditemani dengan tulisan inilah, penulis bangkit, percaya dan bertahan kemudian terbitlah sebuah buku ini.

Tasawuf
Arti tasawuf setengahnya diambil dari perkataan shifa’, artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. Setengahnya lagi dari kata shuf, artinya bulu binatang. Karena orang yang memasuki tasawuf benci dengan pakaian yang indah-indah.  Asalnya “Theosofie” artinya “ilmu ketuhanan”. Kehidupan yang asalnya daripada zuhud, dan membenci kemegahan dunia yang telah dicapai orang lain atau kehidupan mencari kekayaan di dalam hati sendiri, bertambah lama, bertambah maju dan bertambah dalam. Dan di dalam tasawuf itulah timbul kajian tentang arti ma’rifat atau sa’adah (bahagia), dan bagaimana ikhtiar untuk mencapai perhubungan yang kekal dengan Tuhan.

Ibnu Khaldun berkata, “Tasawuf itu adalah semacam ilmu syar’iyah yang timbul kemudian di dalam agama. Asalnya ialah bertekun beribadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci  perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta benda, dan kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah.
Tasawuf yang dimaksud dalam buku ini adalah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.

Pendapat Tentang Bahagia
Dalam buku ini dipaparkan pendapat bahagia dari para tokoh. Kalau kita perturutkan, bahagia itu mempunyai kaidah sebanyak orang, sebanyak penderitaan, sebanyak pengalaman, sebanyak kekecewaan.
Orang fakir mengatakan bahagia pada kekayaan.
Orang sakit mengatakan bahagia pada kesehatan.
Orang yang telah terjerumus ke lembah dosa mengatakan bahwa terhenti dari dosa itulah kebahagiaan.
Seorang yang rindu  atau bercinta, mengatakan hasil maksudnya itulah bahagia.
Seorang penganjur rakyat berpendapat bahwa kemerdekaan dan kecerdasan umat bangsa yang dipimpinnya itulah bahagia.
Seorang pengarang syair merasa bahagia jika syairnya jadi hafalan orang.
Seorang jurnal merasa bahagia jika surat kabarnya dan timbangan redaksinya dipahami orang.

Kebahagiaan itu pernah dinyanyikan oleh seorang ahli syair bernama Hutai’ah;
“Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada mengumpulkan harta benda, tetapi taqwa akan Allah itulah bahagia. Taqwa akan Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan. Pada sisi Allah sajalah kebahagiaan para orang yang taqwa.

Imam Al-Ghazali, orang tua dan panutan dari segala tabib jiwa berpendapat bahwa:
“Bahagia adalah kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah. Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita merasakan nikmat kesenangan dan kelezatannya. Dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing, maka kelezatan ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara merdu, demikianlah pula segala anggota yang lain di tubuh manusia. Adapun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan untuk mengingat Allah.

Menurut Aristoteles:”Bahagia itu ialah tujuan tiap-tiap diri. Kebaikan umum itu ialah suatu perkara, yang bila tercapai, maka kita tidak berkehendak lagi dengan yang lain. Tetapi bahagia ialah anugerah Allah kepada tiap-tiap diri yang dipilih-Nya, yang boleh jadi orang lain tidak merasakannya, meskipun yang memperoleh bahagia dengan yang tidak memperoleh itu berkumpul setiap hari”.

Menurut Leo Tolstoy, berpendapat bahwa yang menjadi sebab manusia putus asa di dalam mencari bahagia, ialah karena bahagia itu diambilnnya untuk dirinya  sendiri, bukan untuk bersama. Bahagia tidaklah akan didapat di dalam hidup yang gelap melainkan kepada kehidupan yang penuh Nur, penuh cahaya gemilang. Hidup bercahaya dan berseri ialah hidup yang sudi mengorbankan kesenangan dan kebahagiaan bersama untuk menghilangkan segala permusuhan dan kebencian yang melekat di dalam jantung Anak Adam, yang terbit lantaran hawa nafsu dan syahwat , yang semuanya itu membawa manusia kepada gelap-gulita. Hidup yang gilang-gemilang itu ialah berkorban.

Pendapat Nabi Muhammad shallaulahualaihi wassalam tentang bahagia, dari Aisyah radhiyallahu’anha bahwa pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah shallaulahualaihi wassalam:
“Ya, Rasulullah, dengan apakah berkelebihan setengah manusia dari yang setengahnya?”
“Dengan akal !”
“Dan di Akhirat ?”
“Dengan akal juga”. kata beliau
“Bukankah seorang manusia lebih dari manusia yang lain dari hal pahala lantaran amal ibadahnya?” kata Aisyah.
“Hai Aisyah, bukankah amal ibadah yang mereka kerjakan itu hanya menurut kadar akalnya? Sekadar ketinggian derajat akalnya, sebegitulah ibadah mereka dan menurut amal itu pula pahala yang diberikan kepada mereka.”
Rasulullah shallaulahualaihi wassalam bersabda : “Allah telah membagi akal kepada tiga bagian, siapa yang cukup mempunyai ketiga bagiannya, sempurnalah akalnya, kalau kekurangan walau sebagian, tidaklah ia terhitung orang yang berakal.”
Orang bertanya: “Ya Rasulullah, manakah bagian yang tiga macam itu?
“Pertama baik ma’rifatnya dengan Allah. Kedua, baik taatnya bagi Allah. Ketika,  baik pula sabarnya atas ketentuan Allah.” Jawab Rasulullah shallaulahualaihi wassalam.

Dapat kita ambil kesimpulan dari sabda Nabi tersebut, bahwa derajat bahagia manusia itu menurut derajat akalnya, karena akal lah yang dapat membedakan antara baik dengan buruk, akal yang dapat menerangkan segala pekerjaan, akal yang menyelidiki hakikat dan kejadian segala sesuatu yang dituju dalam perjalanan hidup ini.

Oleh agama perjalanan bahagia itu telah diberi batas. Puncaknya yang penghabisan ialah kenal akan Tuhan, baik ma’rifat kepada-Nya, baik taat kepada-Nya dan baik sabar atas musibah-Nya. Tidak ada lagi hidup diatas itu. Sebab itu sekali-kali tidaklah bernama bahagia dan nikmat jika hati dan khayal kita hanya kaitkan dengan segala isi alam yang lahir ini, yang harganya menurut keinginan kita. Jangan terlalu diperintah oleh khayal, angan-angan, oleh fantasi, karena itu jugalah yang mengencongkan kita dari bahagia yang sebenarnya tujuan hidup, yang mulanya tangis akhirnya tertawa, dan mulanya pahit akhirnya manis.

Sekarang mengertilah kita, bahwa segala sesuatu di dalam alam ini baik buruknya bukanlah pada zat sesuatu itu, tetapi pada penghargaan kehendak kita atasnya, menurut tinggi rendahnya akal kita. Apalah gunanya pena emas bagi orang yang tak pandai menulis? Apalah harga Al-Qur’an bagi seorang Vrijdenker (tidak beragama)? Apalah harga intan bagi orang gila? Sebab itulah kita manusia disuruh membersihkan akal budi, supaya dengan dia kita mencapai bahagia yang sejati.

Ada orang orang yang berkata bahwa pengalaman dan penderitaan hidup itu paling di dalam menuju bahagia. Tetapi kita berpendapat lain. Kalau hanya dengan pengalaman saja, tentu umur akan habis sebab pengalaman itu kian hari kian ganjil, pengalalaman kemarin tidak ada lagi sekarang, begitupun nanti. Usia pun habislah sebelum pengalaman penuh, rahmat dan ketentraman tentu tidak akan ada, sehingga bahagia hanya jadi kenangan-kenangan saja.

Sumber: Tasawuf Modern (Buya Hamka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar