Bahagia dan Agama
Pada bab ini
kita akan dipertemukan apa itu bahagia dan hubungannya dengan agama. Seberapa
berpengaruhnya agama dengan kebahagiaan manusia. Kita simak percakapan dibawah
ini:
Orang bertanya,
“Abu Thalib cukup cinta kepada Nabi Muhammad shallaulahualaihi wassalam.
Mengapa dia tidak masuk islam atau mengamalkan islam ?”
Jawab,”Dia bukan
cinta kepada paham pengajaran yang dibawa Nabi Muhammad, tetapi yang
dicintainya ialah anak adiknya yang bernama Muhammad. Yang dicintainya diri
Muhammad, bukan pengajaran Muhammad. Cintanya bukan di dalam Allah, tetapi
cintanya di dalam kefamilian. Yang perlu
lebih dahulu ialah cinta kepada paham yang dibawanya. Dengan sendirinya
kelak, lantaran cinta kepada paham itu, akan menurut cinta kepada dirinya.
Abu Bakar berkata sepeninggal
Muhammad shallaulahualaihi wassalam meninggal,
“Siapa saja yang mencintai Muhammad, maka Muhammad telah mati, Tetapi siapa saja yang mencintai Allah, Allah selamanya hidup, tidak mati-mati.”
“Siapa saja yang mencintai Muhammad, maka Muhammad telah mati, Tetapi siapa saja yang mencintai Allah, Allah selamanya hidup, tidak mati-mati.”
Baru sah iman kalau telah ikut
dengan amalan, dan amalan itulah islam. Islam artinya menurut, menyerah, bukti
menyerah itulah amalan. Dari yang telah tahu, tahu menimbulkan percaya, percaya
menimbulkan tunduk dan menurut maka timbullah amalan yang dikerjakan oleh
anggota lahir. Kalau hati telah tunduk, diiringi perbuatan, berhasillah apa
yang dimaksud dengan iman dan islam. Suatu
perbuatan kalau tidak dikerjakan tandanya hati belum mau. Kalau hati belum mau,
tandanya syahadat yang disebut-sebut itu, hanya dari mulut saja, tidak dari
hati. Sebutan orang yang mukmin, jika membenarkan dengan hati, mengakui dengan
lidah dan membenarkan dengan amal.
Meskipun segala sesuatu harus dimajukan dengan pikiran dan akal, harus dimajukan pula kesuciaan perasaan batin. Perasaan batin itu tak pernah bohong. Karena kalau otak saja yang maju, hati tidak, kita pintar tetapi tak pandai menggunakan kepintaran itu untuk maslahat diri dan manusia seumumnya. Dan untuk menemukan perasaan batin tersebut kita diajak dari buku ini untuk memasuki jiwa kita lebih dalam. Dengan cahaya-Nya dalam agama kita. Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Meskipun segala sesuatu harus dimajukan dengan pikiran dan akal, harus dimajukan pula kesuciaan perasaan batin. Perasaan batin itu tak pernah bohong. Karena kalau otak saja yang maju, hati tidak, kita pintar tetapi tak pandai menggunakan kepintaran itu untuk maslahat diri dan manusia seumumnya. Dan untuk menemukan perasaan batin tersebut kita diajak dari buku ini untuk memasuki jiwa kita lebih dalam. Dengan cahaya-Nya dalam agama kita. Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Iman
adalah sumber kekuatan, hati sumber keindahan alam pada peglihatan mata.
Iman menyebabkan hidup mempunyai maksud dan tujuan, sehingga timbullah minat
mencapai maksud dan mengejat tujuan itu. Tidak beriman membawa kepada tegak
hidup yang tidak bersendi, membawa keberanian merusak dan sewenag-wenang kepada
sesama manusia. Yang berkuasa menurunkan bahagia dan bencana kepada manusia
pada suatu kehidupan sesudah kehidupan yang sekarang. Dan agamalah sebab
bahagia diri dan bahagia masyarakat, menegakkan pergaulan hidup atas azas
perdamaian dan kecintaan. Yaitu agama yang tidak bercampur dengan khurafat dan
bid’ah manusia, untuk mencapai bahagia dunia dan akhirat. Tiang islam dan
tempat tegaknya yang teguh ialah dua tonggak, yaitu kemerdekaan berpikir dan
kemerdekaan kemauan. Kedua syarat inilah yang utama dalam hal ini, terutama di
dalam abad kemajuan ini.
Bahagia dan Utama
Dalam
segala hal, pasti kebaikan memiliki keutamaan, begitu pula hal nya dalam
kebahagiaan. Inilah yang buku ini paparkan, bagimana ada sebuah keutamaan yang
harus dikedepankan dalam sebuah kebahagiaan. Ketika mendapatkan kebahagiaan
ataupun terlepas dari kondisi tak bahagia.
Kesempurnaan
perangai yang utama terdiri dari dua keutamaan:
1.
Keutamaan
otak
2.
Keutamaan
budi.
Keutamaan otak, keutamaan yang mampu
membedakan mana jalan bahagia dengan yang hina, semuanya didapat dengan otak
yang cerdas, bukan karena ikut-ikutan, bukan karena taklid kepada pendapat
orang lain. Sementara Keutamaan budi,
ialah menghilangkan segala perangai yang buruk-buruk, adat-istiadat yang
rendah, yang oleh agama dinyatakan mana yang mesti dibuang dan mana yang mesti dipakai.
Serta membiasakan perangai-perangai terpuji, yang mulia, berbekas di dalam
pergaulan setiap hari dan merasa nikmat memegang adat mulai itu. Dari dua
keutamaan ini didapatkan dengan cara ikhtiar
pikiran dan ikhtiar kerja. Untuk
memudahkan ikhtiar pun butuh dipelajari
dan diusahakan.
Ada
tiga hal yang perlu dalam mencapai utama yaitu:
1.
Tabiat
2.
Pengalaman
3.
Pelajaran.
Banyak
orang yang dari kecil bergaul dalam kalangan tabiat, tetapi pengalaman tidak
ada atau ilmu tidak ditambah, pengalamannya itu tak memberi faedah bagi
kenaikan budinya. Adapun musuh yang senantiasa menghalangi manusia mencapai
keutamaan ialah hawa. Hawa nafsu menyebabkan marah, dengki, loba dan kebencian.
Begitulah peperangan hawa-nafsu dengan akal yang setiap saat berkobar yang mana diri sendirilah yang
menjadi medan perang. Ada point penting
yang mendasar dari bagian ini, yaitu tentang ikhlas. Yang mana lingkup ikhlas
kepada Allah dengan tidak mendustai diri sendiri. Ikhlas kepada kitab-Nya,
kepada Rasul-Nya, untuk dinasehati dan menasehati. Ikhlas untuk mengakui diri
bukan hanya dari lidah tapi juga dengan hati. Ikhlas memakai budi pekerti yang
tinggi dan terpuji.
Kesehatan Jiwa dan Badan
Pada bab ke empat ini, bahagia pun
dipengaruhi oleh kesehatan jiwa dan badan. Jiwa yang sehat akan memancarkan Nur
yang gemilang. Kesehatan badan membukakan pikiran, mencerdaskan akal, dan
menyebabkan bersihnya jiwa pula. Untuk mencapai jiwa yang utama, mencari ilmu
dan hikmah segala jalan, tentulah menyiapkan kebersihan diri. Ada lima point
yang menjadi sebab pada kesehatan jiwa dan badan:
1.
Bergaul
dengan orang yang budiman
2.
Membiasakan
pekerjaan berpikir
3.
Menahan
syahwat dan marah
4.
Bekerja
dengan teratur
5.
Memeriksa
cita-cita sendiri.
Menurut
Buya Hamka, ada kalanya disaat jiwa sakit kita perlu mengobatinya dengan 1
kesehatan yaitu terdiri dari :
1.
Syaja’ah,
berani pada kebenaran, takut pada kesalahan.
2.
Iffah,
pandai menjaga kehormatan batin.
3.
Hikmah,
tau rahasia dari pengalaman kehidupan.
4.
Adil,
meskipun kepada diri sendiri
Harta Benda dan Bahagia
Bab ini akan identik menjelaskan kekayaan dan kemiskinan. Siapa
yang paling sedikit keperluannya, itulah orang yang paling kaya dan siapa yang
amat banyak keperluan itulah orang yang paling miskin. Harta benda pada saat
ini telah menutup hati dari cahaya kebenaran. Dia telah menghambat langkah
menuju gerbang kesucian, hingga orang-orang tak ada lagi yang mencari hak,
mencari kebenaran tapi mencari harta. Bahagia yang dicari itu, telah
tercampur-adukan dengan memburu harta. Begitulah yang penulis ungkapkan.
Disini Buya Hamka hendak
menyampaikan maksutnya, yang dikatakan bahagia dan beruntung itu perasaan hati
dan ketentraman jiwa, tidaklah lebih yang diri rasakan dari apa yang dirasakan
oleh orang lain. Sebab keberuntungan dan bahagia, tak dapat di beli dengan uang
dan tak dapat pun dijual.
Buya Hamka membagi harta benda menjadi dua bagian, harta baik dan harta buruk. Ketika manusia melepaskan nafsunya dengan harta yang banyak, bukannya bahagia yang didapatkannya, tetapi penyesalan yang datang terlambat. Karena mencapai bahagia dengan harta tak ubahnya dengan menyiram api yang bernyala bensin.
Buya Hamka membagi harta benda menjadi dua bagian, harta baik dan harta buruk. Ketika manusia melepaskan nafsunya dengan harta yang banyak, bukannya bahagia yang didapatkannya, tetapi penyesalan yang datang terlambat. Karena mencapai bahagia dengan harta tak ubahnya dengan menyiram api yang bernyala bensin.
George Bernard Shaw, ahli pikir
bangsa Irlandia mengatakan:
“Kalau hartawan-hartawan, miliuner yang besar-besar
itu hendak merasakan bahagia dengan harta-benda yang telah melimpah-limpah,
lebih baik dia mencurahkannya kepada beramal, menyokong pekerjaan-pekerjaan
mulia.”
Kebangsawanan dan ketinggian bukanlah
lantaran banyak menyimpan harta, atau banyak barang, kemudian ialah pada
pendidikan budi, pada kesopanan tinggi. Ikutilah perkataan nabi-nabi dan
rasul-rasul.
Orang yang membayar hak dunia dan
membayar hak akhirat dengan menggunakan harta dunia sepuas-puasnya digunakannya
untuk amal ibadah, membantu dan menolong sesama hamba Allah, melapangkan jalan
bagi sesama, mendirikan masjd, mendirikan madrasah atau rumah untuk
mengembangkan ilmu dunia akhirat. Orang ini lah yang disebut Muhaqqiqin (ahli
selidik dan saksama). Orang yang sanggup mengumpulkan faedah agama dan dunia,
amalan dan harta, akan diberi izin Allah menjadi khalifah-Nya di bumi.
Buya Hamka juga
menjelaskan berbgai sumber harta:
1.
Dari
pencaharian sendiri
2.
Diterima
dengan tiba-tiba, seperti disedekahi orang atau memperoleh warisan atau
mendapat dengan tidak disangka-sangka.
Harta
pencaharian sendiri pun terbagi harta haram dan harta yang halal. Jika harta
itu halal maka ambillah, jika haram tinggalkan. Sebab jika terbiasa memakan
harta yang haram, amatlah sukar mengubahnya, yang menyebabkan budi-pekerti
rusak. Jika untuk kebutuhan yang pokok seperti pakaian, rumah, dan makan punya
tingkatannya. Ada yang sekedar terlalu di bawah standar, ada yang sekedar
cukup, ada juga yang di atas lebih dari cukup.
Menghadapi
harta-benda, hendaklah dengan niat yang jujur. Jika bekerja mncari harta
hendaklah dengan niat untuk amal dan iman. Jika harta harus ditinggalkan
hendaklah beralasan harta banyak menggangu langkah. Karena orang yang zuhud
adalah orang yang sudi miskin, sudi kaya, sudi tidak berjuang sepeser juga,
sudi jadi miliuner, tetapi harta itu tidak menjadi sebab buat dia melupakan
Tuhan atau lalai dari kewajiban.
Sumber: Tasawuf
Modern (Buya Hamka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar