Hubungan
Ridha dengan Keindahan Alam
Pada bab ini
kita akan menemukan bermacam analogi yang akan dikaitkan dengan hubungan ridha
dengan keindahan alam, baik itu keindahan alam ciptaan Tuhan dan keindahan yang
diciptakan oleh tangan manusia.
Orang yang ridha dan suka cita
bilamana ia melihat akan sekelilingnya, timbullah kesenangan dan gembira.
Itulah jalan menuju bahagia. Ridha tabiatnya pemaaf dan benci kerap tidak adil.
Dimaksud ridha adalah menerima kekayaan dan kemiskinan, kekayaan dan kepatahan
perjalanan, sehat dan sakit. Ridha membentuk penglihatan kita atas alam ini
sehigga dia kelihatan indah, cantik, dan menenteramkan. Lawan dari ridha adalah
benci. Cirinya adalah :
1.Semuanya
tak baik, yang baik pun masih kurang
baik.
2. Yang
telah cukup masih belum cukup.
3. Menjadi
pengutuk, penyesal dan senantiasa tidak puas.
4. Tidak
ada kepercayaan kepada diri sendiri dan orang lain.
5. Diwaktu
sehat dia merasa sakit.
6. Diwaktu
kaya dia merasa miskin
7. Diwaktu
senang dia merasa susah
Keindahan
buatan Tuhan menyiarkan sinar kebahagiaan. Seketika matahari terbit, kemudian
hendak tenggelam memberikan perasaan tentram. Warna langit dan awan, ketika
awan gelap dan hujan akan turun, mengesankan kepada jiwa yang ridha. Ufuk yang
jauh tempat ujung penglihatan, langit yang biru, bintang yang berkelip, bukit
barisan yang memanjang pulau, ombak gelombang yang memukul batu, semua menambah
tentram jiwa yang penuh keridhaan itu. meninggalkan bekas kesyukuran, merasa
kelemahan diri berhadapan dengan kebesaran Tuhan.
Di
musim dingin kelihatan beberapa bintang yang tertentu buat musim dingin, di
musim panas kelihatan bintang yang selalu kelihatan di musim panas. Begitulah
kehalusan teknik alam yang tak dapat ditandingi oleh kekuasaan teknik manusia.
Keindahan bunga yang mekar, yang menerbitkan tenteram dalam jiwa melihat
warnanya yang indah, baunya kita cium, kita pelihara dengan perasaan
halus, mempunyai rahasia-rahasia yang
mendalam. Keindahannya dijadikan ilmu, tetapi tidak dapat ditiru. Keindahannya
dapat dirasakan.
Disini
Buya Hamka ingin menegaskan kepada
kita bahwa, perasaan hati tak ingin menerima sesuatu yang tak dapat dibuktikan
oleh penglihatan dan perasaan. Tetapi ilmu tidak mau berhenti hingga itu saja.
Ilmu hendak menyelami rahasia itu lebih dalam. Maka terbukalah bagi akal dari
suatu yang gaib bagi mata, terdengarlah oleh hati barang yang tidak didengar
oleh telinga.
Plato berpendapat “Bahwasannya
memperhatikan keindahan alam itu menambah harga diri.”
Sementara
keindahan tangan buatan manusia, yang telah terukir dan terukur, menarik hati
dan pandangan, tapi tetap meningggalkan keganjilan pada alam ini, tidak dapat
menyerupai dengan apa yang ditiru.
Buya Hamka ingin kita
berpikir dan mendekat sedekat-dekatnya pada diri kita sendiri. Merenungkan
kepemimpinan para raja, menteri-menterinya, perjalanan diri kita sendiri dari
lahir sampai dewasa, sampai tua dan sampai kita telah tiada, di liang kubur.
Semua akan membangkitkan perasaan tentram dalam hati, menghaluskan hati budi
dan pekerti, memperdalam akal dan pikiran.
Diri
yang suka kepada keindahan akan naik tingkatnya, akan bersih selangkah demi
selangkah, akan terhindar dari kotoran
yang menyelimuti cahayanya. Dia akan melepaskan diri dari budi pekerti yang
rendah, yang tiada bersetuju pada kemuliaan. Khayalnya bersih, pancaindranya
yang batin murni, sebab telah ada tangganya menuju Tuhannnya.
Syaid Musthafa Lutfi al-Manfaluthi, pengarang Arab
pernah berkata tentang kebahagiaan :
“ Carilah
bahagia di dalam rimba dan belukar, di lembah dan di bukit-bukit, di kebun dan
di kayu-kayu, di daun yang hijjau dan bunga yang mekar, di danau dan sungai
yang mengalir. Carilah bahagia pada sang Surya yang terbit pagi dan terbenam
sore, pada awan yang sedang berarak dan berkumpul, pada burung-burung yang
sedang hinggap dan sedang terbang, pada bintang-bintang yang sedang berkelip
dan yang tetap pada tempatnya. Carilah bunga di dekat rumahmu, di bandaranya
yang baru dibikin di barisan tanamanya yang baru di atur. Carilah di pinggir
sungai sambil termenung, di puncak-puncak bukti yang didaki dengan payah, ke
dalam lurah yang di turuni. Carilah ketika mendegarkan alira air tengah malam,
pada bunyi angin sepoi-sepoi basah, pada persentuhan daun kayu ketika hendak
larut, pada bunyi jangkrik tengah malam, dan bunyi katak di tengah sawah. Dalam
semua yang daya sebutkan itu tersimpanlah bahagia yang sejati, yang indah,
mulia, murni, sakti, yang menyuruh perasaan menjalar kedalam keindahan,
menyuruh faham menjalar, menghidupkan hati yang telah mati, mendatangkan
ketentraman yang sejati di dalam lapangan hayat.”
Kesimpulan pada bab ini yang Buya
Hamka ingin ajarkan adalah begitu tinggi letak bahagia. Kita harus menuju ke
sana, mesti teruskan perjalanan, tak usah kita kaji jauh dekatnya, karena semua
tergantung pada usaha kita. Jika kita kelak bertemu yang menciptakan kita, kita
mati dalam mencari-Nya, mati di dalam gelombang percintaan kepada-Nya.
Tangga Bahagia
Disini Buya
Hamka akan mengajak kita belajar dengan pandangan para ahli pikir di Barat dan
Timur. Buya Hamka ingin kita memperluas dada kita dengan hikmah.
Tangga Bahagia
yang dimaksudkan Buya Hamka disini terbagi menjadi:
1.
Perasaan
Kelezatan
2.
Bahagia
dan Perasaan sendiri
3.
Rumah
Tangga Sebagai Pusat Bahagia
4.
Bahagia
di balik Mata Penghidupan
5.
Berjihad
untuk Bahagia
Perasaan kelezatan yang
dimaksudkan oleh Buya Hamka disini adalah mengakui apa yang dia miliki atau dia
rasakan adalah lezat, tapi tidak memperturutkan kehendak nafsu lebih dari yang
semestinya. Bahagia dan perasaan sendiri
timbul karena perasaan hati. Perasaan hati yang disebabkan merasa miskin atau
sunyi dan bahagia, ia terbawa perasaan sendiri, bahwa dia tidak disukai orang.
Kalau ada orang yang menyukai apa yang dia lakukan maka timbullah kekuatan dan
keberanian. Orang tipe ini menurut Buya Hamka melakukan pekerjaan bukan karena
wajib dikerjakan, tetapi mengharapkan penerimaan manusia.
Adapun
yang disebut Buya Hamka golongan pasif adalah yang tidak mau mengganggu
masyarakat, tidak mau pedulikan dunia dan isi dunia, dia kecewa dan pesimis,
tidak merasa puas dengan segala yang ada lantaran ingin agar orang-orang
memperhatikannya, dia tidak merasa tentram, dia tidak berani, terlalu banyak
pertimbangan, mundur maju, dan kalau hidupnya dicapai orang lain dia kembali
mengeluh.
Begitu pun dengan rumah tangga, adalah pusat kesenangan hidup bahagia. Apabila
terjadi kecelakaan dalam rumah tangga, itu disebabkan dari keadaan diri
masing-masing, keadaan ekonommi dan pergaulan sehari-hari. Didalamnya si Ayah
tidak mengerti kewajibannya terhadap anaknya dan sebaliknya. Semakin banyak
yang tak ingin perkawinan, itu lantaran ingin mengelakkan dari tanggunan rumah
tangga.
Bahagia di balik penghidupan, selama kita
yakin dan percaya di dalam pekerjaan, selama itu pula ada harapan yang akan mencapai
kebahagiaan. Orang yang hidup hanya diikat oleh mencari sesuap nasi, bukan
diikat oleh kecintaan mengerjakan pekerjaan, amat sukarlah merasakan bahagia.
Kian lama kian mundur tenaga, dan kian kecewa. Begitulah yang telah Buya Hamka
gambarkan bahagia di balik sebuah usaha yang manusia lakukan.
Agama
adalah pangkal kehidupan dan peradaban, islam selalu menghendaki jihad, yaitu
setiap nafas harus diisi dengan perjuangan. Ibnul Qayyim di dalam bukunya,
“Zaadil Ma’ad menjelaskan:
“Jihad itu ada empat tingkatan; jihad kepada diri,
jihad kepada setan, jihad kepada kuffar, jihad kepda munafiqin.”
Tiap manusia perlu berjuang. Kita
akan masuk kepada pandangan Buya Hamka terhadap perjuangan dan kebahagiaan dari
bangsa Barat dan Timur. Hakikat perjuangan teguh di dalam kalangan bangsa barat,
berbeda dengan dikalangan bangsa Timur. Terutama pergaulan barat menyebabkan
“kerja” lebih disukai orang dari pada
malas. Itulah sebabnya berlainan pandangan Barat dengan Timur dalam perkara
mencapai bahagia.
Dalam tulisan Buya Hamka, dengan salinan pandangan menurut Bertrand Rusel mengemukakan, bangsa Timur berdiam diri dan
bermenung, bersemedi dan suluk, disinilah terdapat bahagia. Bangsa Timur belum
banyak memikirkan apa arti perjuagnan. Itulah sebabnya kemajuan masih sangat
jauh dari Bangsa timur. Tetapi bagi Barat bermenung atau menyerah saja tiada
menghasilkan kebahagiaan. Bangsa Barat tidak hendak mencukupkan keperluan
sekadar yang perlu tiap hari saja, tetapi menghendaki lebih dari itu. Karena
kemenangan yang berhasil itulah kebahagiaan yang sebenarnya bagi mereka. Cuma sayangnya pada masa akhir-akhir ini
sukses itu telah diukur orang dengan ukuran materi, kebendaan. Di sinilah
keteledoran dinamik Barat.
Orang
yang tidak merasa perlu ada kekuatan artinya tidak sudi menghadapi perjuangan
dan tidak berani menangung jawab di dalam medan pri-kemanusiaan. Hari ini
bangsa Barat ingin meniru “Kebijaksanaan Timur” menyingkirkan perjuangan, hanya
hendak tentram dalam diri sendiri.
Padahal orang Timur sendiri sudah mulai membenci “Kebijaksanaan” itu sendiri.
Menurut Filosof Arab, Amin al-Raihany, tidak terdapat di
dalam hidup manusia kesenangan yan tidak diiringi kesusuahan, atau kesusahan
yangtak berganti dengan kesenangan. Ada bagian yang lebih banyak dalam kalangan
mausia, ialah orang yang selalu merasa kecewa. Karena itu maka bahagianya jauh
dari dirinya.
Dari pandangan tersebut, Buya Hamka ingin memberikan buah dari
penyelidikan dan pengalamannya, dan ari itu bliau ingin kita perlu ikhtiar
supaya kesenangan lebih dirasakan dari kesusahan. Menjaganya dengan ilmu, aturan, dan agama.
Jika ilmu bertambah maju, niscaya perbaikan ekonomi dan masyarakat bertambah
maju pula. Jalan yang pertama untuk menempuh itu tentu memperbaiki diri manusia
sendiri. Supaya diperkenalkan dengan
“hakikat yang sejati, dan dididik dia manusia beramal di dalam hakikat itu.
Hakikat itu berdiri di atas empat rukun yaitu :
1.
Sehat tubuh
2.
Sehat akal
3.
Sehat Jiwa
4.
Kaya (cukup)
Sehatnya tubuh dengan memelihara :
1.
Tidak
membiasakan diri dengan obat penguat badan
2.
Tidak
meminum-minuman keras
3.
Lekas
tidur dan lekas bangun
4.
Menjaga
perut dari hal yang dimakan
5.
Puasalah
dalam sepekan
6.
Biasakan
diri dengan olahraga: senam, berenang, berburu, mengail ikan, mengendara kuda,
tenis atau gerakan badan ringan sebelum dan setelah bangun supaya badan jangan
kaku.
Akal
adalah alat yang pertama dalam menyebrangi hidup. Akal akan membawa tarikan
hidup yaitu dengan menghadapi hidup dan tidak mengutuki hidup. Sehatnya akal dengan diasah,
mengeluarkan pendapat, menilik apa yang dibelakang dari yang tampak di mata.
Mencapai
kesehatan jiwa ialah dengan iman
kepada Allah. Menghubungkan cinta dengan hayat, dan dengan cita-cita yang
menghubungkan diri dengan alam. Duduklah sendiri untuk melepaskan ikatan
badanmu, membebaskan akal, istirahatlah terlebih dahulu. Dibawah kebaikan hati,
niscaya akan menjalarlah jiwa ke dalam alam yang lain dan alam ini. Setelah itu
ingatlah bahwa diri adalah satu bagian
dari masyarakat besar, masyarakat yang menghendaki tiangnya teguh, dan menghendaki dirimu menjadi tiang yang
teguh itu. bermohonlah kepada Tuhan:
“Ya illahi,
tambahkan kekuatanku dan tambahlah cahayaku!!,”
“Ya illahi! Saya
mulai memperbaiki diriku, supaya perbaikan itu berpindah kelak kepada sesama
manusia yang ada di sekelilingku.”
“Ya illahi!
Pertolongan Engkaulah yang aku harapkann supaya dilapangkan jalanku menuju
cinta, menuju kemudahan langkah, menuju hikmat, dan kesederhanaan!”
Itulah yang
dipesankan oleh Buya Hamka.
Antara
kemiskinan dan putus asa adalah racun bahagia. Ikhtiarkan segera dengan obatnya :
1.
Tahu harga diri
2.
Percaya kepada diri sendiri
3.
Menyerah kepada diri
Tentang
kekayaan, Buya Hamka mengingatkan kita dengan pepatah ini :
“Kekayaan ialah
pada perasaan telah kaya”
Kekayaan itu
akan berarti jika digunakan untuk kemaslahatan umum, membela fakir dan miskin,
dan menyucikan hartanya.
Sumber: Tasawuf
Modern (Buya Hamka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar