Kamis, 26 Maret 2020

Resensi Buku Buya Hamka “Tasawuf Modern” Part 4


Hubungan Ridha dengan Keindahan Alam

            Pada bab ini kita akan menemukan bermacam analogi yang akan dikaitkan dengan hubungan ridha dengan keindahan alam, baik itu keindahan alam ciptaan Tuhan dan keindahan yang diciptakan oleh tangan manusia.

            Orang yang ridha dan suka cita bilamana ia melihat akan sekelilingnya, timbullah kesenangan dan gembira. Itulah jalan menuju bahagia. Ridha tabiatnya pemaaf dan benci kerap tidak adil. Dimaksud ridha adalah menerima kekayaan dan kemiskinan, kekayaan dan kepatahan perjalanan, sehat dan sakit. Ridha membentuk penglihatan kita atas alam ini sehigga dia kelihatan indah, cantik, dan menenteramkan. Lawan dari ridha adalah benci. Cirinya adalah :
1.Semuanya tak baik,  yang baik pun masih kurang baik.
2.  Yang telah cukup masih belum cukup.
3.  Menjadi pengutuk, penyesal dan senantiasa tidak puas.
4. Tidak ada kepercayaan kepada diri sendiri dan orang lain.
5. Diwaktu sehat dia merasa sakit.
6. Diwaktu kaya dia merasa miskin
7.  Diwaktu senang dia merasa susah

Keindahan buatan Tuhan menyiarkan sinar kebahagiaan. Seketika matahari terbit, kemudian hendak tenggelam memberikan perasaan tentram. Warna langit dan awan, ketika awan gelap dan hujan akan turun, mengesankan kepada jiwa yang ridha. Ufuk yang jauh tempat ujung penglihatan, langit yang biru, bintang yang berkelip, bukit barisan yang memanjang pulau, ombak gelombang yang memukul batu, semua menambah tentram jiwa yang penuh keridhaan itu. meninggalkan bekas kesyukuran, merasa kelemahan diri berhadapan dengan kebesaran Tuhan.

Di musim dingin kelihatan beberapa bintang yang tertentu buat musim dingin, di musim panas kelihatan bintang yang selalu kelihatan di musim panas. Begitulah kehalusan teknik alam yang tak dapat ditandingi oleh kekuasaan teknik manusia. Keindahan bunga yang mekar, yang menerbitkan tenteram dalam jiwa melihat warnanya yang indah, baunya kita cium, kita pelihara dengan perasaan halus,  mempunyai rahasia-rahasia yang mendalam. Keindahannya dijadikan ilmu, tetapi tidak dapat ditiru. Keindahannya dapat dirasakan.

Disini Buya Hamka ingin menegaskan kepada kita bahwa, perasaan hati tak ingin menerima sesuatu yang tak dapat dibuktikan oleh penglihatan dan perasaan. Tetapi ilmu tidak mau berhenti hingga itu saja. Ilmu hendak menyelami rahasia itu lebih dalam. Maka terbukalah bagi akal dari suatu yang gaib bagi mata, terdengarlah oleh hati barang yang tidak didengar oleh telinga.

Plato berpendapat “Bahwasannya memperhatikan keindahan alam itu menambah harga diri.”

Sementara keindahan tangan buatan manusia, yang telah terukir dan terukur, menarik hati dan pandangan, tapi tetap meningggalkan keganjilan pada alam ini, tidak dapat menyerupai dengan apa yang ditiru.

Buya Hamka ingin kita berpikir dan mendekat sedekat-dekatnya pada diri kita sendiri. Merenungkan kepemimpinan para raja, menteri-menterinya, perjalanan diri kita sendiri dari lahir sampai dewasa, sampai tua dan sampai kita telah tiada, di liang kubur. Semua akan membangkitkan perasaan tentram dalam hati, menghaluskan hati budi dan pekerti, memperdalam akal dan pikiran.

Diri yang suka kepada keindahan akan naik tingkatnya, akan bersih selangkah demi selangkah, akan terhindar  dari kotoran yang menyelimuti cahayanya. Dia akan melepaskan diri dari budi pekerti yang rendah, yang tiada bersetuju pada kemuliaan. Khayalnya bersih, pancaindranya yang batin murni, sebab telah ada tangganya menuju Tuhannnya.

Syaid Musthafa Lutfi al-Manfaluthi, pengarang Arab pernah berkata tentang kebahagiaan :
“ Carilah bahagia di dalam rimba dan belukar, di lembah dan di bukit-bukit, di kebun dan di kayu-kayu, di daun yang hijjau dan bunga yang mekar, di danau dan sungai yang mengalir. Carilah bahagia pada sang Surya yang terbit pagi dan terbenam sore, pada awan yang sedang berarak dan berkumpul, pada burung-burung yang sedang hinggap dan sedang terbang, pada bintang-bintang yang sedang berkelip dan yang tetap pada tempatnya. Carilah bunga di dekat rumahmu, di bandaranya yang baru dibikin di barisan tanamanya yang baru di atur. Carilah di pinggir sungai sambil termenung, di puncak-puncak bukti yang didaki dengan payah, ke dalam lurah yang di turuni. Carilah ketika mendegarkan alira air tengah malam, pada bunyi angin sepoi-sepoi basah, pada persentuhan daun kayu ketika hendak larut, pada bunyi jangkrik tengah malam, dan bunyi katak di tengah sawah. Dalam semua yang daya sebutkan itu tersimpanlah bahagia yang sejati, yang indah, mulia, murni, sakti, yang menyuruh perasaan menjalar kedalam keindahan, menyuruh faham menjalar, menghidupkan hati yang telah mati, mendatangkan ketentraman yang sejati di dalam lapangan hayat.”

            Kesimpulan pada bab ini yang Buya Hamka ingin ajarkan adalah begitu tinggi letak bahagia. Kita harus menuju ke sana, mesti teruskan perjalanan, tak usah kita kaji jauh dekatnya, karena semua tergantung pada usaha kita. Jika kita kelak bertemu yang menciptakan kita, kita mati dalam mencari-Nya, mati di dalam gelombang percintaan kepada-Nya.

Tangga Bahagia

            Disini Buya Hamka akan mengajak kita belajar dengan pandangan para ahli pikir di Barat dan Timur. Buya Hamka ingin kita memperluas dada kita dengan hikmah.
Tangga Bahagia yang dimaksudkan Buya Hamka disini terbagi menjadi:
1.      Perasaan Kelezatan
2.      Bahagia dan Perasaan sendiri
3.      Rumah Tangga Sebagai Pusat Bahagia
4.      Bahagia di balik Mata Penghidupan
5.      Berjihad untuk Bahagia

Perasaan kelezatan yang dimaksudkan oleh Buya Hamka disini adalah mengakui apa yang dia miliki atau dia rasakan adalah lezat, tapi tidak memperturutkan kehendak nafsu lebih dari yang semestinya. Bahagia dan perasaan sendiri timbul karena perasaan hati. Perasaan hati yang disebabkan merasa miskin atau sunyi dan bahagia, ia terbawa perasaan sendiri, bahwa dia tidak disukai orang. Kalau ada orang yang menyukai apa yang dia lakukan maka timbullah kekuatan dan keberanian. Orang tipe ini menurut Buya Hamka melakukan pekerjaan bukan karena wajib dikerjakan, tetapi mengharapkan penerimaan manusia.

Adapun yang disebut Buya Hamka golongan pasif adalah yang tidak mau mengganggu masyarakat, tidak mau pedulikan dunia dan isi dunia, dia kecewa dan pesimis, tidak merasa puas dengan segala yang ada lantaran ingin agar orang-orang memperhatikannya, dia tidak merasa tentram, dia tidak berani, terlalu banyak pertimbangan, mundur maju, dan kalau hidupnya dicapai orang lain dia kembali mengeluh.

 Begitu pun dengan rumah tangga, adalah pusat kesenangan hidup bahagia. Apabila terjadi kecelakaan dalam rumah tangga, itu disebabkan dari keadaan diri masing-masing, keadaan ekonommi dan pergaulan sehari-hari. Didalamnya si Ayah tidak mengerti kewajibannya terhadap anaknya dan sebaliknya. Semakin banyak yang tak ingin perkawinan, itu lantaran ingin mengelakkan dari tanggunan rumah tangga.

Bahagia di balik penghidupan, selama kita yakin dan percaya di dalam pekerjaan, selama itu pula ada harapan yang akan mencapai kebahagiaan. Orang yang hidup hanya diikat oleh mencari sesuap nasi, bukan diikat oleh kecintaan mengerjakan pekerjaan, amat sukarlah merasakan bahagia. Kian lama kian mundur tenaga, dan kian kecewa. Begitulah yang telah Buya Hamka gambarkan bahagia di balik sebuah usaha yang manusia lakukan.

Agama adalah pangkal kehidupan dan peradaban, islam selalu menghendaki jihad, yaitu setiap nafas harus diisi dengan perjuangan. Ibnul Qayyim di dalam bukunya, “Zaadil Ma’ad menjelaskan:
“Jihad itu ada empat tingkatan; jihad kepada diri, jihad kepada setan, jihad kepada kuffar, jihad kepda munafiqin.”

            Tiap manusia perlu berjuang. Kita akan masuk kepada pandangan Buya Hamka terhadap perjuangan dan kebahagiaan dari bangsa Barat dan Timur. Hakikat perjuangan teguh di dalam kalangan bangsa barat, berbeda dengan dikalangan bangsa Timur. Terutama pergaulan barat menyebabkan “kerja”  lebih disukai orang dari pada malas. Itulah sebabnya berlainan pandangan Barat dengan Timur dalam perkara mencapai bahagia.

            Dalam tulisan Buya Hamka, dengan salinan pandangan menurut Bertrand Rusel mengemukakan, bangsa Timur berdiam diri dan bermenung, bersemedi dan suluk, disinilah terdapat bahagia. Bangsa Timur belum banyak memikirkan apa arti perjuagnan. Itulah sebabnya kemajuan masih sangat jauh dari Bangsa timur. Tetapi bagi Barat bermenung atau menyerah saja tiada menghasilkan kebahagiaan. Bangsa Barat tidak hendak mencukupkan keperluan sekadar yang perlu tiap hari saja, tetapi menghendaki lebih dari itu. Karena kemenangan yang berhasil itulah kebahagiaan yang sebenarnya bagi mereka. Cuma sayangnya pada masa akhir-akhir ini sukses itu telah diukur orang dengan ukuran materi, kebendaan. Di sinilah keteledoran dinamik Barat.

            Orang yang tidak merasa perlu ada kekuatan artinya tidak sudi menghadapi perjuangan dan tidak berani menangung jawab di dalam medan pri-kemanusiaan. Hari ini bangsa Barat ingin meniru “Kebijaksanaan Timur” menyingkirkan perjuangan, hanya hendak  tentram dalam diri sendiri. Padahal orang Timur sendiri sudah mulai membenci “Kebijaksanaan” itu sendiri.

            Menurut Filosof Arab, Amin al-Raihany, tidak terdapat di dalam hidup manusia kesenangan yan tidak diiringi kesusuahan, atau kesusahan yangtak berganti dengan kesenangan. Ada bagian yang lebih banyak dalam kalangan mausia, ialah orang yang selalu merasa kecewa. Karena itu maka bahagianya jauh dari dirinya.

            Dari pandangan tersebut, Buya Hamka ingin memberikan buah dari penyelidikan dan pengalamannya, dan ari itu bliau ingin kita perlu ikhtiar supaya kesenangan lebih dirasakan dari kesusahan.  Menjaganya dengan ilmu, aturan, dan agama. Jika ilmu bertambah maju, niscaya perbaikan ekonomi dan masyarakat bertambah maju pula. Jalan yang pertama untuk menempuh itu tentu memperbaiki diri manusia sendiri.  Supaya diperkenalkan dengan “hakikat yang sejati, dan dididik dia manusia beramal di dalam hakikat itu. Hakikat itu berdiri di atas empat rukun yaitu :
1.      Sehat tubuh
2.      Sehat akal
3.      Sehat Jiwa
4.      Kaya (cukup)


Sehatnya tubuh dengan memelihara :
1.    Tidak membiasakan diri dengan obat penguat badan
2.    Tidak meminum-minuman keras
3.    Lekas tidur dan lekas bangun
4.    Menjaga perut dari hal yang dimakan
5.    Puasalah dalam sepekan
6.    Biasakan diri dengan olahraga: senam, berenang, berburu, mengail ikan, mengendara kuda, tenis atau gerakan badan ringan sebelum dan setelah bangun supaya badan jangan kaku.

Akal adalah alat yang pertama dalam menyebrangi hidup. Akal akan membawa tarikan hidup yaitu dengan menghadapi hidup dan tidak mengutuki hidup. Sehatnya akal dengan diasah, mengeluarkan pendapat, menilik apa yang dibelakang dari yang tampak di mata.

Mencapai kesehatan jiwa ialah dengan iman kepada Allah. Menghubungkan cinta dengan hayat, dan dengan cita-cita yang menghubungkan diri dengan alam. Duduklah sendiri untuk melepaskan ikatan badanmu, membebaskan akal, istirahatlah terlebih dahulu. Dibawah kebaikan hati, niscaya akan menjalarlah jiwa ke dalam alam yang lain dan alam ini. Setelah itu ingatlah  bahwa diri adalah satu bagian dari masyarakat besar, masyarakat yang menghendaki tiangnya teguh,  dan menghendaki dirimu menjadi tiang yang teguh itu. bermohonlah kepada Tuhan:
“Ya illahi, tambahkan kekuatanku dan tambahlah cahayaku!!,”
“Ya illahi! Saya mulai memperbaiki diriku, supaya perbaikan itu berpindah kelak kepada sesama manusia yang ada di sekelilingku.”
“Ya illahi! Pertolongan Engkaulah yang aku harapkann supaya dilapangkan jalanku menuju cinta, menuju kemudahan langkah, menuju hikmat, dan kesederhanaan!”
Itulah yang dipesankan oleh Buya Hamka.

            Antara kemiskinan dan putus asa adalah racun bahagia. Ikhtiarkan segera dengan obatnya :
1.      Tahu harga diri
2.      Percaya kepada diri sendiri
3.      Menyerah kepada diri
Tentang kekayaan, Buya Hamka mengingatkan kita dengan pepatah ini :
“Kekayaan ialah pada perasaan telah kaya”
Kekayaan itu akan berarti jika digunakan untuk kemaslahatan umum, membela fakir dan miskin, dan menyucikan hartanya.

Sumber: Tasawuf Modern (Buya Hamka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar