Celaka
Di
bab sebelumnya kita telah berputar dengan segala pandangan filsafat dan buah
penyelidikan manusia. Pada bab ini kita akan mendapat penjelasan tentang lawan
dari rasa bahagia. Disini Buya Hamka menuliskan sebab timbulnya celaka.
Kemudian ditambah dengan pendapat oleh Prf Syaikh Yusuf Dajwi tentang celaka.
Sebab
orang celaka timbul dari beberapa perkara:
1.
Pendapat
akal yang salah
2.
Rasa benci
3.
Mengundurkan
diri.
Terkadang
akal salah menaksirkan, salah memilih
jalan menuju bahagia. Memelihara penyakit was-was, putus asa, seakan kekurangan
percaya. Lemah hatinya, kendor semangatnya, buruk sangkanya kepada Tuhan, makin
lama makin tenggelam. Timbanglah segala perkara dengan timbangan akal yang
betul. Percayalah bahwa sebuah hal celaka itu bukan datang dari luar, tapi dari
dalam diri. Kemudian perbaikilah.
Orang
yang mampu menjaga dari hawa nafsunya maka akan sulit ditimpa celaka. Karena
dia memahami bahwa kekecewaannya, kebencian yang tumbuh, hati patah, akan
membuat dia lupa jika diri merasa cukup terhadap Allah. Maka gantilah sifat benci menjadi cinta. Sehari pergantian
itu, warna alam berubah dengan sendirinya, pada pandangan kita.
Pesimis, artinya hilang
kepercayaan kepada alam dan hidup, melihat bahwa tidak ada harapan kebaikan.
Selama hawa nafsu manusia masih ada, dan setan masih ada, janganlah harap akan
mendapat keberesan. Nafsu setan tidak dapat dibunuh, karena dia ada dikehidupan
manusia. Menolak samasekali pesimis itutidaklah bisa. Itu adalah kenyataan. Di
sinilah manfaat agama bagi orang yang beriman. Perlunya iman menghadapi celaka.
Pesimis tanpa iman adalah celaka.
Sebab-sebab
orang celaka menurut keterangan Prof. Saikh Yusuf Dajwi:
1. Royal
2. Boros
3. Tak
pandai membagi waktu
4. Tidak
mendapat didikan agama dalam rumah tangga
5. Pendidikan
sekolah tidak bekerja sama dengan orang tua.
6. Kurangnya
buku –buku bacaan yang dapat menyelaraskan perekmbangan rohani dan jasmani.
7. Kegelapan
dalam rumah tangga dan pelajaran sekolah tidak dihubungkan dengan moral agama.
8. Tidak
terdapat pembagian kerja yang teratur dalam masyarakat.
Kesimpulan
dari bab ini yang Buya Hamka ingin sampaikan adalah untuk kita melakukan tugas
dengan insaf dan sadar. Bab ini sebagai bab penutup yang saya review dari buku
Buya Hamka. Buku ini mengajarkan kita untuk tidak sawang sinawang. Memandang
dari banyak sisi, dan menyadari bahwa kebahagiaan itu hakikatnya dekat. Tidak
mencari dan mengejar kemanapun, tidak berlomba ataupun beralasan yang lain. Bahagia
itu ketika kita bersedia menikmati semua anugerah yang tercurahkan pada diri,
sekalipun itu dalam sakit, sedih, pedih, patah, hilang, maupun kecewa. Karena
ada kelapangan hati yang luas yang Buya Hamka ajarkan. Buku ini sungguh
menyentuh dan membuka cakrawala pikir dan rasa lebih luas.
Ada
satu bab lagi yang saya tinggalkan yang berjudul Munajat. Pada bab itu
berisikan semua goresan, kepasrahan, pengakuan dan kebahagiaan hati Buya Hamka
di hadapan Rabb dalam setiap kondisi. Kepribadian beliau yang sungguh menawan,
keteguhan prinsip yang bertahan sungguh memberikan inspirasi.
Sumber: Tasawuf
Modern (Buya Hamka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar